Kamis, Mei 27, 2010

DESA SIAGA DI JAWA TENGAH BELUM MAKSIMAL

Saat ini pemerintah sedang menggalakkan visi pembangunan kesehatan melalui program Indonesia sehat. Harapannya, masyarakat dapat hidup dalam lingkungan yang sehat, berperilaku hidup bersih dan sehat serta mampu menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata. Desa Siaga merupakan gambaran masyarakat yang sadar, mau, dan mampu untuk mencegah dan mengatasi berbagai ancaman terhadap kesehatan masyarakat seperti kurang gizi, penyakit menular, kejadian bencana dan lain-lain.

Tujuan utama pengembangan Desa Siaga adalah untuk memeratakan pelayanan kesehatan dasar kepada masyarakat. Untuk itu perlu adanya upaya kesehatan yang berbasis masyarakat sehingga tercapai (accessible), lebih terjangkau (affordable) serta lebih berkualitas (quality).

Mardiatmo, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah menerangkan di Jateng terdapat sekitar 8.568 desa dan dari jumlah tersebut pada tahun 2006 tercatat sekitar 2.345 desa sebagai Desa Siaga. "Jumlah ini (Desa Siaga) sekarang terus meningkat menjadi hampir 7.000 desa atau sekitar 91 persen," jelasnya dalam Seminar Nasional Optimalisasi Desa Siaga untuk Mewujudkan Indonesia Sehat, di kampus UNS belum lama ini.

Tergantung Pemerintah

Jumlah tersebut menurut Mardiatmo, akan diprioritaskan untuk menekan enam masalah kesehatan di Jateng yakni, Demam Berdarah Dengue (DBD), Angka Kematian Ibu (AKI), dan Angka Kematian Bayi (AKB), tuberkulosis (TBC), gizi buruk, HIV/AIDS, serta jaminan kesehatan yang masih sangat tinggi. Tingginya masalah-masalah tersebut menurutnya, terjadi karena beberapa hal seperti ketergantungan masyarakat terhadap pemerintah dalam pembiayaan kesehatan untuk memperoleh pelayanan kesehatan, atau kurangnya kepedulian masyarakat dalam hal pencegahan.

Sehingga untuk menggerakkan program Desa Siaga, terdapat setidaknya tiga pihak yang harus dilibatkan sebagai sasaran pengembangan. Pertama, pihak-pihak yang memiliki pengaruh terhadap perubahan perilaku individu dan keluarga, atau dapat menciptakan iklim yang kondusif bagi perubahan perilaku. Kedua, semua individu dan keluarga di desa atau kelurahan. Serta ketiga, pihak-pihak yang diharapkan memberikan dukungan seperti kebijakan, peraturan perundangan, dana, dan tenaga.

Mardiatmo mengatakan pendekatan kelompok dan pendekatan keluarga merupakan cara yang dianggap paling efektif untuk membangun Desa Siaga. "Dengan pendekatan keluarga, petugas kesehatan akan lebih kenal dekat masalah yang dihadapi setiap keluarga serta potensi yang dimiliki. Meski dari segi jumlah Desa Siaga di Jateng cukup banyak, namun dari segi hasil yang dicapai masih kurang maksimal," terangnya.

Sehingga untuk melaksanakan strategi, perlu didukung oleh SDM kesehatan yang kompeten, tersedia dalam jumlah yang cukup, terdistribusi merata, serta dimanfaatkan secara efektif dan efisien dalam rangka pengembangan Desa Siaga. (dik)19mei2010
sumber :
http://harianjoglosemar.com/

WORSKHOP CLTS 2010










Workshop Community Led Total Sanitation (CLTS) Program Pamsimas Komponen B Provinsi Jawa Tengah telah dilaksanakan pada 25-27 Mei 2010, dihadiri oleh 30 peserta dari Kabupaten dan kota lokasi Program Pamsimas Komponen B. Pada kesempatan ini disajikan implementasi CLTS dari Dinas Kesehatan Kabupaten Boyolali, Banjarnegara dan Kabupaten Tegal. Disamping itu pula penyajian tentang Koordinasi Pelaku Pamsimas dari Dinas Kesehatan Kota Semarang dan Kabupaten Tegal. Beberapa hal positif dan terobosan telah dilakukan oleh kabupaten dan kota dalam rangka Stop Buang air besar di sembarang tempat yang menjadi pemicu untuk kabupaten dan kota lain, masukan dan pengalaman penyaji menjadi bahan diskusi kelompok untuk merumuskan perbaikan pelaksanaan pada masa mendatang. beberapa hasil dari workshop tersebut adalah sebagai berikut:

1.TARGET STOP BABS
Perlu pentahapan sebagai acuan pencapaian target Stop BABS melalui penyusunan rencana strategis/strategi sanitasi dalam percepatan pencapaian target Stop BABS.

2.KELEMBAGAAN
Koordinasi antar pelaku Pamsimas di tingkat Kab/Kota , Kecamatan dan desa perlu ditingkatkan melalui pertemuan berkala (TKK, DMPU, DMAC,Fasilitator, Puskesmas, Kades/Lurah,LKM, BPS) termasuk Pokja AMPL
Natural leader/komite CLTS/relawan CLTS sebagai pemicu untuk peningkatan stop BABS.
Perlunya komitmen antar pelaku Pamsimas bahwa kegiatan Pamsimas merupakan tanggungjawab bersama, termasuk stop BABS.

3.PEMILIHAN LOKASI
Kriteria lokasi Pamsimas seharusnya menjadi dasar penentuan lokasi Pamsimas, termasuk pernyataan minat dari masyarakat untuk perubahan perilaku BABS . Tidak dipenuhinya persyaratan ini berakibat realisasi stop BABS kecil/lamban sehingga potensi terjangkitnya Diare masih terjadi.

4.SERTIFIKASI PEMICUAN
Permintaan sertifikasi pemicuan diajukan oleh pihak desa/lurah.

5.PUBLIKASI
Publikasi program Pamsimas kepada masyarakat melalui Sosialisasi, pertemuan masyarakat, media leaflat, spanduk dan siaran radio dalam rangka peningkatan pengetahuan dan perilaku hidup bersih dan sehat.

6.DUKUNGAN DANA
Pendanaan dari APBD diperlukan untuk mendukung kegiatan Pamsimas.
Dana Jamkesmas dan Bantuan Operasional Kesehatan Kementerian Kesehatan unt Puskesmas(unt keg kesling)

DUKUNG PERDA KAWASAN TANPA ROKOK

Jakarta (ANTARA) - Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih mendorong pemerintah daerah membuat dan menerapkan peraturan tentang kawasan tanpa rokok.
"Pengendalian dampak tembakau adalah tanggung jawab semua. Kawasan tanpa asap rokok perlu diperluas untuk melindungi masyarakat dari paparan asap rokok," katanya saat menyampaikan paparan terkait peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia di kantor Kementerian Kesehatan Jakarta, Kamis.
Menurut dia, saat ini sebanyak 18 kabupaten/kota sudah menerapkan peraturan daerah tentang kawasan tanpa rokok.
Daerah yang sudah menerapkan peraturan tentang kawasan tanpa rokok, kata dia, antara lain Palembang, DKI Jakarta, Bogor, dan Kota Padang Panjang.
Beberapa daerah, seperti Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Bali, Kalimantan Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur, sudah melakukan sosialisasi pengaturan kawasan tanpa rokok dan berencana menerapkan peraturan daerah mengenai pengendalian dampak tembakau terhadap kesehatan.
Kota Padang Panjang, menurut dia, termasuk kota yang berhasil mengendalikan dampak penggunaan tembakau terhadap kesehatan melalui penerapan peraturan tentang kawasan tanpa rokok dan kawasan tertib rokok.
Wali Kota Padang Panjang Suir Syam mengatakan pemerintah daerahnya juga melarang total iklan rokok di Padang Panjang sehingga kota itu sekarang bebas dari segala bentuk iklan rokok.
Ia menjelaskan pemerintah daerah mengawali usaha pengendalian dampak penggunaan tembakau terhadap kesehatan pada 2005 dengan mengeluarkan imbauan bagi kantor pemerintah untuk menertibkan kegiatan merokok dengan hanya memperbolehkan kegiatan merokok pada tempat yang ditentukan.
Pada tahun 2007, kata dia, pemerintah mengajukan rancangan peraturan daerah tentang kawasan tanpa rokok ke DPRD dan ditolak tak lama setelah dibaca anggota dewan.
"Tapi kami ajukan lagi pada 2008 dan disahkan pada akhir 2008. Mulai saat itu juga kami tidak mengizinkan iklan rokok lagi sehingga tahun 2009 kami sudah bersih dari iklan rokok," katanya.
Penerapan kebijakan itu, menurut dia, bukan tanpa tantangan. Beberapa kalangan, termasuk kalangan muda, pedagang rokok, dan pemilik stasiun radio sempat menentang.
"Anak-anak muda awalnya menolak karena kegiatan mereka biasanya disponsori iklan rokok. Orang-orang radio juga menolak, bahkan sempat minta ganti rugi karena mereka tidak dapat pemasukan dari iklan rokok," katanya.
Pemerintah daerah, kata dia, menghadapi penolakan itu dengan pendekatan persuasif untuk menyadarkan mereka akan bahaya rokok bagi kesehatan.
"Hampir semuanya mengerti, bahkan sebagian sekarang malah menjadi aktivis antirokok," katanya.
Kebijakan pemerintah Kota Padang berdampak positif terhadap penurunan jumlah perokok.
Menurut Suir Syam, pada 2008 pemerintah daerah memberikan penghargaan kepada 36 rumah tangga yang bebas dari asap rokok, kemudian pada 2009 memberikan penghargaan serupa pada 200 rumah tangga bebas asap rokok.
"Ibu-ibu anggota Dasa Wisma memantau aktivitas merokok pada rumah tangga di lingkungannya dan menyampaikan data rumah tangga yang berhasil membebaskan diri dari asap rokok kepada pemerintah," katanya
.
Epidemi Tembakau
Menteri Kesehatan mengemukakan data epidemi tembakau dunia bahwa tembakau menyebabkan kematian lima juta orang setiap tahun, sebagian besar di antaranya berada di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Populasi perokok di Indonesia tertinggi ketiga di dunia setelah China dan India dengan tingkat konsumsi rokok sebanyak 220 miliar batang per tahun menurut data tahun 2005.
Menurut dia, 57 persen rumah tangga di Indonesia memiliki setidaknya satu perokok, dan hampir semua perokok merokok di rumah.
Padahal asap tembakau mengandung lebih dari 4.000 senyawa kimia dan 43 di antaranya bersifat karsinogen pada manusia yang pengaruh buruknya tidak hanya diterima oleh orang yang mengisap rokok, tetapi juga mereka yang terpapar asap rokok.
Rokok, kata Menkes, diketahui membunuh separuh dari masa hidup perokok dan menyebabkan separuh perokok meninggal dunia pada usia 35-69 tahun.

Sabtu, Mei 22, 2010

PLAN Bantu Tujuh Desa Di Lembata Bebaskan Ribuan Jiwa Dari BAB Sembarangan

Bupati Lembata mengukuhkan Plan Indonesia Kantor Unit Lembata sebagai I-NGO pertama di Nusa Tenggara yang berhasil mengantarkan 100% dari 7 desa di Kabupaten Lembata memiliki jamban sendiri. Hal ini diperkuat oleh data dari Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (POKJA AMPL) Kabupaten Lembata, sebanyak 1.048 anak dari 2.833 jiwa di 7 desa tersebut tidak lagi BAB (Buang Air Besar) sembarangan.

Ketujuh desa tersebut dinyatakan telah berhasil melaksanakan lima pilar STBM (sanitasi total berbasis masyarakat). “Hari ini kami layak untuk bergembira karena desa kami sekarang sudah mencapai 6 pilar, yaitu 5 pilar STBM dan 1 pilarlokal yaitu tidak ada kotoran ternak dalam kampung”, ujar Drs. Bernadus Boli Hipir, Assisten-2SETDA, yang mewakili Bupati Lembata ketika meresmikan dan menyerahkan sertifikat Desa Total Sanitasi, pada selebrasi desa STBM, di Desa Lerahingga, 15 Maret 2010.
Acara ini sekaligus mengukuhkan keberhasilan Plan Indonesia dalam membebaskan sekitar 80 desa yang masyarakatnya masih melakukan BAB sembarangan. Dari 60% desa yang terletak di wilayah Nusa Tenggara, 7 desa dinyatakan berhasil membebaskan kebiasaan buruk masyarakat yang bisa meningkatkan angka kematian anak-anak karena penyakit diare ini. Dua dari tujuh desa tersebut, yaitu Dikesare dan Lamatuka lebih dahulu memenuhi kriteria desa total sanitasi pada tahun 2009, menyusul lima desa lainnya, yaitu Tapolango, Tapobaran, Lerahinga, Lamaau,dan Watodiri memenuhi kriteria desa total sanitasi pada Februari 2010.

Untuk memastikan bahwa suatu desa telah memenuhi kriteria desa total sanitasi, POKJA AMPL (Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan) melakukan monitoring pada desa-desa tersebut. “Kami membentuk kelompok-kelompok kecil (2-3 orang) untuk terjun pada tiap-tiap dusun dari rumah ke rumah. Hasil monitoring ini menjadi dasar kami membuat rekomendasi kepada Bapak Bupati untuk memberikan sertifikat DESA TOTAL SANITASI”, terang salah satu pengurus POKJA-AMPL Kabupaten Lembata Ir. Maria Goreti Meti di sela-sela acara.
Menurut Manajer Plan Indonesia Unit Lembata Sabarrudin, pada awal memulai program menghilangkan BAB sembarangan di 7 desa itu, terdapat sekitar 60 % rumah tangga yang belum memiliki jamban. Mereka adalah keluarga yang biasa melakukan BAB di sembarang tempat atau menumpang WC tetangga. Staff Plan di Lembata dibantu fasilitator yang terdiri dari kader des a, pegawai sanitarian puskesmas dan dinas kesehatan kemudian mengajak masyarakat melakukan transect walk , jalan-jalan keliling desa menelusuri tempat-tempat pembuangan kotoran. Hasil jalan-jalan ini dituangkan dalam sebuah peta sanitasi desa yang berguna memandu masyarakat mengidentifikasi tempat-tempat pembuangan kotoran dan rumah-rumah yang belum memiliki jamban.
Pada setiap desa terdapat panitia sanitasi desa dan panitia sanitasi dusun yang diberikan surat keputusan oleh Kepala Desa. Tugasnya melakukan monitoring dari rumah ke rumah dan mendatangi keluarga untuk melihat progres penyelesaian pembangunan jamban. Panitia ini juga memiliki data progres penyelesaian jamban tiap keluarga. Pendekatan yang dilakukan pada setiap desa memanfaatkan potensi praktek ”GEMOHING”,yaitu praktek gotong royong pada beberapa keluarga (biasanya 5 – 6 keluarga) untuk saling bergiliran membangun jamban, sampai se mua anggota menyelesaikan pembangunan jamban masing-masing. Pada setiap minggu, terdapat 1 atau 2 hari yang ditetapkan sebagai hari Gemohing. Bisa juga lebih dari dua hari tergantung kesepakatn dalam kelompok. Praktek Gemohing bisa juga terjadi dalam kelompok BASIS gereja, atau di tingkat dusun. Pendekatan ini sangat membantu mempercepat proses pengerjaan jamban, dan menolong keluarga tua yang tidak memiliki anggota keluarga dan janda-janda yang ditinggal oleh suaminya merantau mencari kerja.

Perihal dana, pemerintah dan masyarakat sepakat
untuk mengalokasikan sebagaian dari dana BLT (Bantuan Langsung Tunai) untuk membeli material dasar membangun jamban (semen, kawat besi beton, kloset, dan pipa paralon), kekurangannya pemerintah desa menggunakan ADD (alokasi dana desa) Rp. 5.000.000. Dengan cara ini, seperti halnya yang terjadi di Desa Lerahinga, 60 % keluarga yang sebelumnya belum memiliki jamban, dalam 3 – 4 bulan bisa memiliki jamban yang layak pakai (septic tank permanen dan kloset leher angsa) dinding bias menggunakan bahan sederhana yaitu yang dibelah) sampai mereka mampu untuk menggantinya dengan bahan semen.

Ada pula pendekatan khusus yang diberlakukan bagi keluarga yang tidak mampu membeli marterial membangun jamban. Misalnya di Desa Dikesare, Kepala Desa membuat aturan untuk meminta semua aparat desa dan kepala dusun memberi sumbangan 1 sak semen untuk keluarga yang tidak mampu, sedangkan untuk pembelian kloset, besi, dan pipa paralon, pemerintah dengan dana ADD memberikan kredit tanpa bunga sebesar Rp. 500.000
perkeluarga yang dikembalikan dengan cara mencicil Rp. 10.000 setiap bulan. Melalui pendekatan tersebut, sepertinya Plan Indonesia di Lembata telah berkontribusi dan membantu pemerintah Indonesia mencapai target 10.000 desa total sanitasi pada 2014, melalui program WASH (Water, Sanitation, and Hygiene ), pendekatan CLTS (Community Led Total Sanitation ) dan memfasilitasi masyarakat untuk praktek hidup bersih dan sehat. (Sabaruddin, PUM Lembata).
Posted by Plan Indonesia

KLINIK SANITASI, INTEGRASI MENANGANI PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN


Penyakit lingkungan masih merupakan masalah kesehatan yang terbesar di masyarakat, tercermin dari tingginya angka kesakitan penyakit berbasis lingkungan dalam kunjungan ke sarana pelayanan kesehatan. Tingginya angka kesakitan tersebut disebabkan oleh masih buruknya kondisi sanitasi dasar teruma air`bersih dan sanitas, rendahnya perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), kurang hygienisnya cara pengolahan makanan serta buruknya penatalaksanaan aspek kesehatan dan keselamatan kerja.

Menurut HL. Blum faktor lingkungan dan perilaku mempunyai pengaruh terbesar terhadap status kesehatan, disamping faktor pelayanan kesehatan dan genetik. Untuk itu cara pencegahan dan pengendalian penyakit-penyakit tersebut harus melalui upaya perbaikan lingkungan/sanitasi dasar dan perubahan perilaku ke arah yang lebih baik.
Klinik sanitasi merupakan suatu cara dalam mengatasi masalah kesehatan lingkungan untuk pencegahan dan pengendalian penyakit dengan bimbingan, penyuluhan dan bantuan teknis dari petugas puskesmas, tetapi bukan sebagai unit pelayanan yang berdiri sendiri tetapi sebagai bagian integral dari kegiatan puskesmas.

Petugas sanitasi sebagai pengelola klinik sanitasi dituntut mempunyai pengetahuan dan ketrampilan dalam membantu menemukan masalah lingkungan dan perilaku yang berkaitan dengan penyakiy yang banyak diderita masyarakat sehingga diharapkan mereka dapat berperan dalam upaya memutuskan rantai penularan penyakit.

Tujuan Umum:
Meningkatkan mutu pelayanan klinik sanitasi di puskesmas

Tujuan Khusus:
a. Petugas Klinik Sanitasi tahu dan mampu melaksanakan kegiatan klinik sanitasi
b. Petugas mampu menggali dan menemukan masalah lingkungan dan perilaku yang berkaitan dengan penyakit berbasis lingkungan
c. Petugas klinik sanitasi mampu memberikan saran tindak lanjut perbaikan lingkungan dan perilaku yang tepat sesuai dengan masalah


Ruang Lingkup.
1.Penyakit-penyakit yang berhubungan dengan air
2. Penyakit-penyakit yang penularannya berkaitan dengan kondisi perumahan dan lingkungan yang jelek
3. Penyakit-penyakit yang penyebabnya atau cara penularannya melalui makanan
4. Gangguan kesehatan yang berhubungan dengan penggunaan bahan kimia dan pestisida di rumah tangga

Kegiatan
1. Dalam gedung puskesmas
a. Penderita
1) Menerima kartu rujukan status dari petugas poliklinik
2) Mempelajari kartu status/rujukan tentang diagnosis oleh petugas poliklinik
3) Menyalin dan mencatat nama dan karakteristik penderita dan keluarganya dalam buku register.
4) Melakukan wawancara atau konseling
5) Menyimpulkan permasalahan lingkungan dan perilaku yang berkaitan dengan kejadian penyakit yang diderita.
6) Memberikan saran dan tindak lanjut sesuai permasalahan
7) Membuat kesepakatan jadwal kunjungan ke lapangan.

b. Klien
Menanyakan permasalahan yang dihadapi klien dan mencatat nama serta karakteristik klien pada buku register
Melakukan wawancara atau konseling yang mengacu pada Pedoman teknis KS untuk Puskesmas dan Panduan Konseling KS.
Membantu menyimpulkan permasalahan lingkungan atau perilaku yang diduga dengan permasalahan yang ada
Memberikan saran pemecahan yang sederhana, murah dan mudah untuk dilaksanakan
Bila diperlukan dibuat kesepakatan jadwal pertemuan berikutnya atau jadwal kunjungan lapangan/rumah.

Luar Gedung
Mempelajari hasil wawancara atau koseling
Menyiapkan dan membawa berbagai peralatan dan kelengkapan lapangan
Memberitahu atau menginformasikan kedatangan kepada perangkat desa dan petugas kesehatan, instansi terkait yang ada di desa.
Melakukan pemeriksaan dan pengamatan lingkungan dan perilaku yang mengacu pada Pedoman Teknis KS puskesmas sesuai dengan penyakit/masalah yang ada
Menyimpulkan hasil kunjungan lapangan
Memberikan saran tindak lanjut kepada sasaran
Menyampaikan hasil kunjungan kepada ybs
Tujuan tindak lanjut adalah untuk mengetahui perkembangan penyelesaian permasalahan kesehatan lingkungan sesuai dengan rencana dan saran. Kegiatan tindak lanjut diarahkan untuk:
Mengetahui realisasi Keterlibatan masyarakat, lintas program dan lintas sektor
Perkembangan kejadian penyakit dan permasalahan kesehatan lingkungan


Kegiatan tindak lanjut secara insidentil dan berkala antara lain melalui kegiatan:
Mini Lokakarya Puskesmas
Rapat lintas sektor tingkat kecamatan
Pertemuan tingkat tingkat desa, dusun, RT
Kunjungan posyandu
Observasi lapangan atau supervisi
Kegiatan surveilans penyakit dan lingkungan

Pencatatan dan Pelaporan
Kegiatan klinik sanitasi dicatat kedalam buku register untuk kemudian diolah dan dianalisis sebagai bahan tindak lanjut kunjungan lapangan dan keperluan monitoring dan evaluasi. Data yang ada dapat digunakan sebagai bahan perencanaan kegiatan selanjutnya
Seluruh kegiatan klinik sanitasi dan hasilnya dilaporkan secara berkala kepada kepala dinas kabupaten / kota sesuai format laporan yang ada. .

Penyelesaian Masalah
Penyelesaian masalah kesehatan lingkungan terutama masalah yang menimpa sekelompok keluarga atau kampung dapat dilaksanakan secara musyawarah dan gotong royong oleh masyarakat dengan bimbingan teknis dari petugas sanitasi dan lintas sektor terkait. Apabila dengan cara demikian tidak tuntas dan atau untuk perbaikannya memerlukan pembiayaan yang cukup besar maka penyelesaiannya dianjurkan untuk mengikuti mekanisme perencanaan yang ada, mulai perencanaan tingkat desa, tingkat kecamatan dan tingkat kabupaten/kota . Petugas sanitasi juga dapat membantu mengusulkan kegiatan perbaikan kesehatan lingkungan tersebut lepada sektor terkait


Penutup.
Keberhasilan klinik sanitasi di lapangan Sangat tergantung pada kemauan, pengetahuan dan keterampilan petugas klinik sanitasi dalam menggali, merumuskan dan memberikan saran tindak lanjut perbaikan lingkungan dan perilaku secara cepat, tepat dan akurat. Selain itu dukungan kepala Puskesmas, petugas kesehatan lain, lintas sektor dan masyarakat terutama dalam penyelesaian masalah kesehatan lingkungan sangat dibutuhkan untuk keberhasilan pelaksanaan klinik sanitasi.
Untuk itu dalam pelaksanaan klinik sanitasi harus dilakukan secara terintegrasi dan didukung pengetahuan dan keterampilan di bidang lainnya seperti teknik komunikasi, konseling dan lain-lain.

Sabtu, Mei 15, 2010

MDGs di Indonesia

Tujuan Pembangunan Milenium berisikan tujuan kuantitatif yang harus dicapai dalam jangka waktu tertentu, terutama persoalan penanggulangan kemiskinan pada tahun 2015. Tujuan ini dirumuskan dari ‘Deklarasi Milennium’, dan Indonesia merupakan salah satu dari 189 negara penandatangan pada September 2000.
Delapan Tujuan Pembangunan Milenium juga menjelaskan mengenai tujuan pembangunan manusia, yang secara langsung juga dapat memberikan dampak bagi penanggulangan kemiskinan ekstrim. Masing-masing tujuan MDGs terdiri dari target-target yang memiliki batas pencapaian minimum yang harus dicapai Indonesia pada 2015. Buku ini berisikan sekelumit gambaran mengenai 8 tujuan Pembangunan Milenium, pencapaian serta tantangannya dalam mencapai 18 target tersebut di Indonesia
Untuk mencapai tujuan MDG tahun 2015 diperlukan koordinasi, kerjasama serta komitmen dari seluruh pemangku kepentingan, utamanya pemerintah (nasional dan lokal), masyarakat sipil, akademia, media, sektor swasta dan komunitas donor. Bersama-sama, kelompok ini akan memastikan kemajuan-kemajuan yang telah dicapai tersebar merata di seluruh Indonesia.Pemerintah Indonesia tetap memegang komitmenya untuk melaporkan kemajuan pencapaian MDGs.
Tujuan Ke-1: Mengentasan Kemiskinan Ekstrim dan Kelaparan
Target 1: Menurunkan hingga setengahnya Penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan ekstrim hingga 50%Target 2: Mengurangi Jumlah penduduk yang menderita kelaparan hingga setengahnya.
Situasi Saat Ini
Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mencapai Target pertama MDGs. Pada tahun 1990, 15,1% penduduk Indonesia berada dalam kemiskinan ekstrim. Jumlahnya saat itu mencapai 27 juta orang. Saat ini proporsinya sekitar 7,5% atau hampir 17 juta orang. Pada tingkat nasional, dengan usaha yang lebih keras, Indonesia akan dapat mengurangi kemiskinan dan kelaparan hingga setengahnya pada 2015. Meskipun begitu, masih terdapat perbedaan yang cukup besar antara daerah kaya dan miskin. Banyak daerah miskin di perdesaan, terutama di wilayah timur Indonesia yang memerlukan kerja lebih keras untuk mencapai target mengurangi kemiskinan dan kelaparan.
Tindak LanjutPencapaian tujuan MDG yang pertama tahun 2015 hanya akan dapat dilakukan dengan keikutsertaan dan kerjasama seluruh pemangku kepentingan di setiap kabupaten dan kota. Masyarakat miskin di Indonesia memerkukan akses yang lebih baik untuk mendapatkan makanan, air bersih, pelayanan kesehatan dasar dan pendidikan. Masyarakat miskin juga membutuhkan jalan dan infrastruktur lain untuk mendukung aktivitas ekonomi, dan membuka akses pasar untuk menjual produksi mereka. Tingkat pendapatan masyarakat miskin di Indonesia akan meningkat dengan peningkatan kesempatan kerja dan pengembangan usaha. Perubahan mendasar perlu dilakukan pada tingkat pembuatan kebijakan. Kebijakan yang pro-kemiskinan harus mulai dikembangkan. Dalam era desentralisasi, tanggungjawab pembuatan kebijakan dan penganggaran dibuat di tingkat lokal oleh pemerintahan daerah. Masyarakat sipil dan kalangan swasta, media dan akademisi dapat pula membantu pemerintah dengan menyampaikan kebutuhan kaum miskin melalui advokasi dan keterlibatan langsung dengan pembuat kebijakan.
Keluarga dan kelompok masyarakat di seluruh Indonesia juga harus diberdayakan untuk lebih berperan aktif dalam menentukan dan meraih yang mereka perlukan. Pembangunan berkelanjutan harus dimulai dari akar rumput, dan kemudain bergerak ke tingkat yang lebih tinggi. Untuk membantu kaum miskin agar lebih sejahtera, mereka harus diberi sumberdaya yang cukup untuk membantu mereka tumbuh dan mebjadi sejahtera.

Tujuan Ke-2: Mencapai Pendidikan Dasar untuk Semua
Target 3: Pada 2015, semua anak Indonesia, baik laki-laki maupun prempuan, akan dapat menyelesaikan pendidikan dasar
Situasi Saat Ini
Target MDG kedua adalah mencapai pendidikan dasar untuk semua pada 2015. Ini artinya bahwa semua anak Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan, akan dapat menyelesaikan pendidikan dasar. Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk memenuhi target ini dengan mencanangkan Program Wajib Belajar 9 tahun. Kebijakan ini terbukti telah meningkatkan akses untuk pendidikan SD. Akan tetapi, masih banyak anak usia sekolah di pelosok negeri yang belum dapat menyelesaikan SD-nya. Bahkan di perdesaan, tingkat putus sekolah dapat mencapai 8,5%. Kualitas pendidikan di Indonesia selama ini masih perlu ditingkatkan dan manajemen pendidikan juga kurang baik.
Tindak LanjutApabila target kedua ini ingin dicapai, seluruh pemangku kepentingan diseluruh negeri, termasuk pemerintah pusat dan daerah, organisasi masyarakat sipil, masyarakat umum, akademisi, sektor swasta dan media perlu untuk bekerja sama memastikan bahwa kebijakan, strategi dan program di masa yang datang terkait Program Wajib belajar 9 tahun harus terfokus pada peningkatan akses dan memperluas kesempatan belajar kepada seluruh anak usia sekolah , terutama mereka yang berada di daerah miskin dan daerah pedalaman. Dinas Pendidikan di daerah juga perlu untuk meningkatkan kualitas dan kesesuaian pendidikan dasar untuk memastikan bahwa seluruh lulusannya akan memiliki kemampuan dasar untuk bekerja atau meneruskan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi.
Sistem manajemen sumberdaya pendidikan juga perlu ditingkatkan, sehingga seluruh lembaga yang terkait dengan pendidian dasar dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara lebih efisien dan efektif. Kunci dari kesusksesan pemerintah dalam mensukseskan pendidikan dasar 9 tahun adalah dengan keterlibatan orang tua murid dan tokoh masyarakat, sertaorganisasi masyarakat sipil dan sektor swasta. Kelompok pemangku kepentingan ini akan membantu memobilisasi berbagai sumberdaya untuk mendukung tercapainya tujuan program Wajar 9 Tahun. Selain itu, kesempatan juga perlu diperluas kepada sekolah swasta dan lembaga pendidikan berbasis masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan dasar.

Tujuan Ke-3: Mendukung Kesetaraan Gender dan Memberdayakan Perempuan
Target 4: Menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan dasar dan sekolah menengah di Indonesia
Situasi Saat Ini Indonesia telah mencapai banyak kemajuan dalam mengatasi persoalan kesenjangan antara laki-laki dan perempuan. Program Wajib belajar 9 tahun telah membawa dampak positif dalam pengurangan kesenjagan dalam dunia pendidikan. Rasio antara partisipasi murid laki-laki dan perempuan, baik partisipasi bersih amupun kotor, sudah hampir mencapai 100% di seluruh tingkat pendidikan. Akan tetapi, keberhasilan ini masi perlu ditingkatkan, terutama untuk kelompok usia yang lebih tua. Masih terdapat cukup banyak kesenjangan dan anggapan yang salah dalam konteks peranan dan gender di masyarakat. Persepsi yang salah ini hampir terjadi di semua aspek kehidupan, mulai dari pekerjaan (kesempatan dan kesetaraan imbalan) hingga keterwakilan di bidang politik.
Proporsi perempuan dalam pekerjaan non-pertanian relative stagnan, begitu pula debngan keterwakilan perempuan di parlemen, yang masing-masing masih berkisar pada 33% dan 11%.
Tindak LanjutPemerintah Indonesia saat ini tengah melakuan banyak strategi untuk mendukung pencapaian tujaun ketiga MDG. Selain program gender di bidang pendidikan, upaya juga dilakukan untuk meningkatkan kesempatan bagi perempuan untuk bekerja di sektor non-pertanian dan kesetaraan imbalan. Aspek pemberdayaan perempuan merupakan langkah penting untuk mencapai tujuan ketiga MDG, termasuk juga peningkatan keterwakilan perempuan dalam aspek politik.
Mekipun Pasal 27 UUD 45 menjamin kesetaraan hak bagi seluruh penduduk Indonesia – laki-laki maupun perempuan, cukup banyak ditemukan praktek-praktek yang justru mendiskriminiskian dan memicu terjadinya kesenjangan, terutama di tingkat daerah. Hal ini mencakup implementasi peraturan daerah yang mengandung unsur dualisme yang tidak sesuai dengan UUD 45. Seluruh pemangku kepentingan di Indonesia, termasuk Pemerintah, masyarakat sipil, sektor swasta, akademisi dan media dapat berperan dalam mencegah dampak negatif dari praktek semacam ini, dengan cara berpedoman secara teguh terhadap hak konstitusional setiap warga negara.
Tujuan Ke-4: Mengurangi Tingkat Kematian Anak
Target 5: Mengurangi hingga dua pertiga-nya , tingkat kematian anak dibawah usia 5 tahun
Situasi Saat Ini
Di Indonesia, dari setiap 1.000 kelahiran, 40 diantaranya akan mennggal sebelum mereka berusia 5tahun. Statistik ini dikenal dengan Angka kematian Balita (AKB). AKB Indonesia saat ini adalah yang tertinggi diantara Negara ASEAN lain. Meskipuns demikian, Indonesia sebenarnya telah mencapai tujuan keempat MDG. Hal yang menjadi pekerjaan kita sekarang adalah memastikan bahwa anak-anak Indonesia mendapatkan hak konstitusional mereka. UU no 23 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa setiap anak memiliki hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan keamanan sosial menurut kebutuhan fisik, psikis dan sosial mereka. Sepertiga kematian bayi di Indonesia terjadi pada bulan pertama setelah kelahiran, 80% diantaranya terjadi pada minggu pertama. Penyebab utama kematian adalah infeksi pernafasan akut, komplikasi kelahiran dan diare. Selain penyebab utama, beberapa penyakit menular seperti infeksi radang selaput otak (meningitis), typhus dan encephalitis juga cukup sering menjadi penyebab kematian bayi.
Tindak LanjutProgram Nasional Anak Indonesia menjadikan issu kematian bayi dan balita sebagai salah satu bagian terpenting. Program tersebut merupakan bagian dari Visi Anak Indonesia 2015, sebuah gerakan yang melibatkan seluruh komponen masyarakat, dari mulai pemerintah, sektor swasta hingga akademisi dan masyarakat sipil. Bersama-sama, kelompok ini berusaha meningkatkan kualitas kesehatan dan kesejaheraan Bayi dan Balita. Selain mempromosikan hidup sehat untuk anak dan peningkatan akses dan kualitas terhadap pelayanan kesehatan yang komprehensif, bagian dari Target keempat MDG adalah untuk meningkatkan proporsi kelahiran yang dibantu tenaga terlatih, sehingga diharapkan terjadi perubahan perilaku di masyarakat untuk lebih aktif mencari pelayanan kesehatan, terutama untuk anak dan balita.
Tujuan Ke-5: Meningkatkan Kesehatan Ibu
Target 6: Menurunkan ¾-nya Tingkat Kematian Ibu di Indonesia
Situasi Saat Ini
Resiko kematian ibu karena propses melahirkan di Indonesia adalah 1 kematian dalam setiap 65 kelahiran. Setiap tahun diperkirakan terjadi 20.000 kematian ibu karena komplikasi sewaktu melahirkan dan selama kehamilan. Tingkat Kematian Ibu dihitung berdasarkan jumlah kematian setiap 100.000 kelahiran. Penyebab utama kematian ibu di Indonesia adalah haemorrhage, eclampsia yang menyebabkan tekanan darah tinggi sewaktu kehamilan, komplikasi karena aborsi, infeksi dan komplikasi sewaktu melahirkan. Meskipun Indonesia belum memiliki sistem pendataan yang baik untuk mendapatkan infromasi mengenai AKI, para ahli memperkirakan bahwa AKI pada tahun 1992 di Indonesia adalah 425 Lebih dari satu dekade kemudian, angkanya berubah menjadi 307 per 100.000 kelahiran hidup. Berdasarkan laju ini, diperlukan usaha yang jauh lebih besar untuk mecapai Target MDG ke 5. Selain itu, perhatian khusus harus diberikan kepada daerah miskin, terutama di bagian timur Indonesia, dimana banyak daerah masih memiliki tingkat kematian ibu tertinggi di Indonesia, dan juga karena daerah tersebut memiliki infrastruktur yang sangat terbatas.
Tindak LanjutYang sangat diperlukan oleh Ibu adalah peningkatan akses terhadap pelayana kesehatan berualitas untuk ibu dan anak, terutama selama dan segera setelah kelahiran. Selain peningkatan pelayanan kesehatan, perlu juga diadakan perubahan perilaku masyarakat yang paling rentan terhadap kematian ibu. Hal ini termasuk peningkatan pengetahuan keluarga mengenai status kesehatan dan nurtisi, serta pemberitahuan mengenai jangkauan dan macam pelayanan yang dapat mereka pergunakan. Pemerintah juga perlu untuk meningkatkan sistem pemantauan untuk mencapai tujuan MDG ke 5. Peningkatan sistem pendataan terutama aspek manajemen dan aliran informasi terutama data dasar infrastruktur kesehatan, serta koordinasi antara instansi terkait dengan masyarakat donor juga perlu ditingkatkan untuk untuk menghindari overlap dan kegiatan yang tidak tepat sasaran, sehingga peningkatan kesehatan ibu dapat dicapai secara lebih efektif dan efisien.
Tujuan Ke-6: Memerangi HIV/AIDS dan penyakit menular lainnya
Target 7: Menghentikan dan mulai menurunkan kecenderungan penyebaran HIV/AIDS di IndonesiaTarget 8: Menghentikan dan menurunkan kecenderungan penyebaran Malaria dan penyakit menular lain di Indonesia.
Situasi Saat Ini
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah penyakit yang disebabkan oleh HIV (the Human Immunodeficiency Virus) . HIV dapat merusak siste kekebalan tubuh terhadap penyakit dan infeksi, sehingga dapat menyebabkan kematian bagi penderitanya. Pengobatan dengan Anti Retro Viral (ARV)dapat mennghambat perkembangan penyakit AIDS dan oleh karena itu meningkatkan kondisi tubu penderitanya. Tetapi obat ini tidak dapat menyembuhkan HIV, karena balum ditemukan obat untuk HIV dan AIDS. HIV disebarkan melalui kontak seksua dan melalui darah yang sudah terinfeksi. Sejak pertama kali ditemukan pada tahun 2007, jumlah penderitanya terus meningkat. Hingga Maret 2007 hampir 8.988 kasus AIDS dan 5.640 kasus HIV dilaporkan. Menurut beberapa ahli, jumlah ini hanya sebagian kecil dari keseluruhan penderita yang ada. Kalompok masyarakat yang paling beresiko untuk terinfeksi penyakit ini adalah Pekerja seks komersial dan pelanggannya, serta pengguna narkoba suntik. Selain itu, kesadaran dan pengetahuanyang benar mengenai HIV dan AIDS juga masih merupakan persoalan besar di Indonesia. Lebih dari sepertiga perempuan dan seperlima laki-laki belum pernah mendengar sama sekali mengenai HIV/AIDS. Apabila kecenderunganseperti ini tidak berubah, diperkirakan lebih dari 1 juta masyarakat Indonesia akan terinfeksi pada 2010. Penyakit lain yang juga menjadi perhatian MDG 6 adalah Malaria dan Tubeculosis (TBC). Setiap tahun diperkirakan terdapat 18 juta kasus Malaria dan lebih dari 520 ribu kasus TBC.
Tindak LanjutUpaya pemerintah untuk memerangi HIV/AIDS dilaksanakan oleh Komisi Nasional Pemnanggulangan AIDS (KPA), sebuah badan nasional yang dibentuk untuk mendukung pelaksanaan kampanye danpemberian informasi yang benar mengenai HIV/AIDS, penyebarannya dan apa saja yang dapat dilakukan oleh setiap orang untuk menghindari dan melindungi diri mereka dari tertular penyakit tersebut. KPA juga membentuk masyarakat untuk mengerti bagaimana hidup bersama ODHA dan untuk tetap hidup secara produktif. Upaya peningkatan pemantauan dan peningkatan fasilitas kesehatan dan perawatan untuk ODHA juga perlu dilakukan. Setiap warga negara dapat membantu menghentikan penyebaran HIV dengan mengurangi resiko penularan dengan melakukan praktek seksual yang aman dan menggunakan kondom secara teratur. Kampanye mengenai Roll Back Malaria dan DOTS juga termasuk usaha yang secara periodik dilakukan untuk memerangi Malaria dan TBC.

Tujuan Ke-7: Memastikan Kelestarian Lingkungan
Target 9: Mengintergrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan kedalam kebijakan dan program pemerintah Indonesia, serat mengembalikan sumberdaya yang hilangTarget 10: Mengurangi hingga setengahnya proporsi masyarakat Indonesia yang tidak memiliki akses terhadap air minum yang aman dan sanitasi dasar.Target 11: Meningkatkan secara signifikan kehidupan masyarakat yang hidup di daerah kumuh.
Situasi Saat Ini
Antara tahun 1985 dan 1997, laju deforestasi di Kalimantan, Maluku, Papua, ulawesi dan Sumatra adalah 1.8 juta hektar per tahun. Ancaman utama tehadap hutan hujan Indonesia adalah pembalakan liar di kawasan hutan lindung. Di era desentralisasi dan otonomi daerah, lebih banyak hutan yang dikeploitasi, pembalakan liar semakin menjadi-jadi dan batas kawasan lindung sudah tidak diperdulikan lagi. Panyebab utamanya adalah lemahnya supresmasi hukum dan kurangnya pengertian dan pengetahuan mengenai ptujuan pembangunan jangka panjang dan perlindungna biosphere.
Air - Kualitas air yang sampai ke masyarakat dan didistribusikan oleh PDAM ternyata tidak memenuhi persyarat air minum aman yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan. Hal ini utamanya disebabkan oleh kualitas jaringan disribusi dan perawatan yang kemudian menyebabkan terjadinya kontaminasi.
Sanitasi - Berdasarkan data terahir yang tersedia, akses masyrakat secara umum terhadap fasilitas sanitasi adalah 68%. Akan tetapi, tampaknya sanitasi tidak menjadi prioritas utama pembangunan, baik di tingkat nasional, regional, badan legislative maupun sektor swasta. Hal ini tampat dari relatif kecilnya anggaran yang disediakan untuk sanitasi.
Tindak LanjutAkses dan ketersediaan informasi mengenai sumberdaya alam dan lingkungan merpakan aspek yang perlu ditingkatkan. Program yang seperti ini dapat membantu memperkaya pengetahuan dan wawasan kelompok masyarakat yang hidup di daerah perdesaan dan daerah terpencil mengenai pentingnya perlindungan terhadap lingkungan. Hal ini juga perlu disandingkan dengan promosi mengenai kesehatan dan kebersihan, sehingga masyarakat akan lebih mengerti petingnya air bersih dan dapat berpartisipasi aktif menjaga dan merawat fasilitas air bersih yang ada. Kampanye mengenai pentingnya sanitasi juga perlu dilakukan kepada pemerintah, pembuat kebijakan, dan badan legislatif, termasuk juga kapada masyarakat. Diperlukan investasi dan prioritisasi yang lebih besar untuk meningkatkan akses terhadap air bersih dan pelayanan sanitasi untuk masyarakat di seluruh Indonesia.

MDG 8: Mengembangkan Kemitraan untuk Pembangunan
Target 12: Mengembangkan sistem keuangan dan perdagangan yang terbuka, berbasis peraturan, dapat diprediksi, dan tidak diskriminatifTarget 13: Mengatasi persoalan khusus dari negara-negara paling tertinggal. Hal ini termasuk akses bebas tariff dan bebas kuota untuk produk eksport mereka, meningkatkan pembebasan utang untuk negara berutang besar, penghapusan utang bilateral resmi dan memberikan ODA yang lebih besar kepada Negara yang berkomitmen menghapuskan kemiskinan.Target 14: Mengatasi kebutuhan khusus di negara-negara daratan dan kepulauan kecilTarget 15: Menangani hutang negara berkembang melalui upaya nasional maupun Internasional agar pengelolaan hutang berkesinambungan dalam jangka panjang.Target 16: Bekerja sama dengan negara berkembang mengembangkan pekerjaan yang layak dan produktif untuk kaum mudaTarget 17: Bekerjasama dengan Perusahaan Farmasi, memberikan akses untuk penyediaan obat-obatan penting dengan harga terjangkau di negara berkembangTarget 18: Bekerjasama dengan swasta dalam memanfaatkan teknologi baru, terutama teknologi informasi dan komunikasi.
Tujuan kedelapan berisikan aksi yang harus dilakukan oleh Negara maju kepada negara berkembang untuk mencapai Tujuan 1-7 MDG. Konsensus Monterrey – yang merupakan hasil dari Konferensi Internasional tentang Pembiayaan untuk Pembangunan tahun 2002 – dipandang sebagai unsure kunci Tujuan 8. Konsensus tersebut berintikan kebebasan perdagangan, aliran dana swasta, utang, mobilisasi sumberdaya domestic dan hibah untuk pembangunan. Berkaca pada fakta bahwa investasi dalam bidang kesehatan publik adalah investasi yang non-profit, hibah menjadi penting, terutama di sector kesehatan.

TAWIN "SULE" TERPICU UNTUK STOP BABS




"Kata orang kebersihan itu sebagian dari iman, tetapi mengapa di desa saya banyak orang yang masih buang air besar di sungai dan waktu sebelum nikah saya dan istri saya berjanji bahwa dirimu hanya untukku.Tetapi kenyataannya masih ada lelaki maupun perempuan yang buang air besar di sungai dengan bagian tubuhnya yang bisa terlihat oleh orang lain.Ini yang menjadikana saya tergerak untuk berubah perilaku dalam hal buang air besar".

Demikian sekelumit penuturan Tawin , salah seorang peserta pemicuan di Desa Gongseng yang kemudian membuat jamban dalam jangka waktu 3 hari setelah pemicuan. Tawin yang dijuluki ‘Sule” itu menceritakan pengalamannya apa adanya dan diselingi gaya bahasanya yang kental orang pemalang serta membuat suasana lucu ketika dilakukan pemicuan di desanya.

Kebiasaan buang air besar di sungai merupakan pemandangan yang biasa di Desa Gongseng Kecamatan Randudongkal Kabupaten Pemalang. Sungai pula yang menjadi kebutuhan untuk mandi, cuci dan keperluan untuk air rumah tangga . Sedangkan sumber air tanah jauh dan terbatas sehingga masyarakat desa tersebut harus menempuh hampir 1 Km untuk mendapatkan air bersih.

Namun pada 2009, desa tersebut menjadi lokasi Program PAMSIMAS (Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat). Kegiatanpun berlangsung dari identifikasi masalah yang berhubungan dengan air minum dan perubahan perilaku untuk tidak buang air besar di sembarang tempat. Pelaku di desa adalah masyarakat yang didampingi oleh 3 orang fasilitator masyarakat, bidan desa dan sanitarian Puskesmas.

Salah satu kegiatan di desa adalah pemicuan untuk perubahan perilaku untuk tidak buang air besar di sembarang tempat melalui community led total sanitation (CLTS). Salah satu peserta pemicuan tersebut adalah Tawin, lelaki dua anak ini berkomitmen untuk berubah perilaku dalam jangka waktu 7 hari. Suatu jangka waktu yang paling cepat diantara peserta pemicuan. Dan kenyataannya ternyata Pak Tawin ini bukan 7 hari namun lebih cepat yaitu 3 hari setelah pemicuan, segera dia membuat jamban yang sederhana dengan bahan yang terdapat di sekitar rumah dan yang dipunyai yaitu membuat lubang berbentuk segiempat untuk tempat tinja , kemudian di atasnya dilapisi papan kayu dan diberi lubang untuk jalan masuk tinja. Tidak lupa pula diberi tutup lubang tersebut agar lalat tidak masuk ke tinja. Agar tidak terlihat orang kemudian dibuat rumah atau dinding penutup yang terbuat dari anyaman bambu. Sederhana dan murah namun dapat menghindari lalat membawa tinja yang dapat mengakibatkan pencemaran makanan maupun sakit Diare.

Kebanggaan Tawin itupun berlanjut setelah membuat jamban sederhana, ternyata sebelum dia dan keluarganya memanfaatkan jambannya ,ada tamu tetangganya yang datang dari Jakarta kebingungan mencari jamban ketika akan buang air besar dan jamban Tawin menjadi pilihan tamu tersebut Tawin dengan senang dan bangga mempersilahkan jambannya untuk dipakai. Kata Tawin kita harus memiliki sarana ini biar tidak susah ketika ada tamu yang biasa buang air besar di jamban dan kita tidak malu karena sudah memilikinya.
Anak – anak Tawin yang masih bersekolah di sekolah dasar terkadang saling mengejek karena temannya masih buang air besar di sungai sedangkan dirinya dan keluarganya telah memiliki jamban. Ini pula yang memicu keluarga lain untuk tidak menjadikankan sungai sebagai sarana buang air besar. (disadur dari penuturan Tawin)

Rabu, Mei 12, 2010

RISET KESEHATAN DAERAH 2010

Kementerian Kesehatan menyelenggarakan lagi Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010. Tujuannya untuk melakukan evaluasi pencapaian program pembangunan kesehatan yang telah dilaksanakan, menemukan besaran masalah kesehatan masyarakat, sekaligus sebagai bahan untuk perencanaan pembangunan di bidang kesehatan. Riskesdas 2010 ini difokuskan pada pencapaian Millennium Development Goals (MDG’s).
Hal tersebut dikatakan oleh Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan, Prof. dr. Agus Purwadianto, SH, M.Si, Sp.FF (K) saat press briefing yang dipimpin Sesjen Kementerian Kesehatan dr. Ratna Rosita, MPHM, Jum’at (7/5/2010) di Jakarta. Pada kesempatan itu juga hadir Dirjen Binfar & Alkes Dra. Sri Indrawaty, Apt., M.Kes.
Prof. Agus menambahkan, terkait pencapaian MDG’s ialah penurunan angka kematian bayi (AKB), peningkatan kesehatan ibu, pengendalian penyakit HIV/AIDS dan penyakit menular lainnya seperti malaria dan tuberkulosis. Hasil Riskesdas ini akan digunakan untuk mengevaluasi seluruh kemajuan yang sudah dicapai dari MDG’s 2015. Pada KTT tanggal 20-22 September 2010, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan hadir dan mempresentasikan keberhasilan, pengalaman baik/buruk, kendala yang dihadapi, untuk menyusun strategi secara konkrit agar MDG’s tersebut dapat dicapai pada tahun 2015.
Data yang dikumpulkan mencakup morbiditas penyakit malaria, tuberkulosis paru, status gizi, kesehatan ibu dan anak, perilaku kesehatan, konsumsi makanan individu, fasilitas pelayanan kesehatan, sanitasi lingkungan dan pengeluaran rumah tangga. Selain itu dilakukan juga pemeriksaan darah di lapangan untuk diagnosis malaria (semua umur), pemeriksaan dahak di laboratorium Puskesmas Rujukan Mikroskopis (15 tahun keatas). Informasi yang dihasilkan sebagian besar bisa mewakili sampai tingkat Provinsi, kecuali pemeriksaan Biomedis (malaria & tuberkulosis) yang mewakili tingkat nasional, kata Prof. Agus.Menurut Prof. Agus, pengumpulan data Riskesdas dilakukan pada pertengahan bulan Mei sampai akhir Juni 2010 dengan desain potong lintang dan merupakan penelitian non-intervensi. Pemilihan Blok Sensus (BS) sampel dilakukan secara acak oleh Badan Pusat Statistik (BPS) sejumlah 2800 BS yang dapat mewakili seluruh provinsi di Indonesia. Dari tiap BS terpilih, akan dipilih secara acak 25 rumah tangga (Ruta) sehingga diperkirakan akan terpilih 70.000 Ruta sampel tersebar di seluruh Indonesia.
Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, pengukuran, dan pemeriksaan laboratorium darah malaria dan dahak. Data dikumpulkan mennggunakan kuesioner terstruktur yang telah diuji coba, bahan dan teknik pemeriksaan laboratorium yang telah distandarisasi, dan dilakukan oleh tenaga kesehatan yang telah terlatih. Setiap tim pengumpul data terdiri dari 4 orang dengan kualifikasi minimal lulusan D3 Kesehatan yang akan bertugas mengumpulkan serta langsung mengentry data tersebut. Tim pengumpul data ini akan mengumpulkan data di 2-3 BS (50-75 Ruta) terpilih. Untuk Riskesdas 2010 ini jumlah pengumpul data adalah 3750 orang yang tersebar di 2800 BS terpilih.Data yang telah dikumpulkan dan di-entry diperiksa kelengkapannya kemudian langsung dikirim melalui penanggung jawab teknis (PJT) kabupaten/kota ke Badan Litbangkes melalui e-mail atau CD/flashdisk. Di Badan Litbangkes data disatukan, diedit akhir, cleaning¸ pembobotan dan analisis. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan tabulasi silang untuk semua variabel dengan representasi tingkat nasional dan provinsi, kecuali untuk pemeriksaan biomedis yang hanya mewakili tingkat nasional saja.
Hasil analisis diharuskan untuk dapat selesai pada akhir Juli 2010.Pada tahun 2007, Balitbangkes telah melakukan Riskesdas yang hasilnya telah dimanfaatkan oleh penyelenggara program, terutama di jajaran Kementerian Kesehatan dan Bappenas untuk evaluasi program pembangunan kesehatan termasuk pengembangan rencana kebijakan pembangunan kesehatan jangka menengah (RPJMN) 2010-2014. Beberapa kabupaten/kota juga menggunakan informasi tersebut untuk merencanakan, mengalokasikan anggaran, melaksanakan, memantau dan mengevaluasi program kesehatan. Komposit beberapa indikator Riskesdas 2007 juga telah digunakan sebagai model Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) di Indonesia untuk melihat peringkat kabupaten/kota. IPKM ini sudah digunakan Kementerian Kesehatan untuk pengembangan Program Penanggulangan Daerah Bermasalah Kesehatan.Untuk kelancaran Riskesdas 2010 ini, Kementerian Kesehatan menghimbau kepada responden agar dapat berpartisipasi memberikan informasi yang benar sehingga data yang terkumpul dapat memberikan informasi yang benar tentang status kesehatan masyarakat Indonesia.Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon: 021-52907416-9, faks: 52921669, Call Center: 021-500567, 30413700, atau alamat e-mail:
puskom.publik@yahoo.co.id
info@puskom.depkes.go.id

Kamis, Mei 06, 2010

RAKERKESNAS : TINGKATKAN SINERGI DAN KOORDINASI PUSAT DAN DAERAH


Hari ini Kamis, 6 Mei 2010, Menteri Kesehatan dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr.PH membuka Rapat Kerja Kesehatan Nasional (Rakerkesnas) Tahun 2010 di Jakarta. Rapat dihadiri Pejabat Struktural dan Staf Khusus Menteri Kesehatan, Direktur RS Vertikal, Pimpinan UPT Kementerian Kesehatan, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi/Kabupaten/Kota, Direktur Rumah Sakit Provinsi/Kabupaten/Kota se- Indonesia, serta Pimpinan Organisasi Profesi. Sebagai Narasumber hadir diantaranya Gubernur Provinsi DKI Jakarta, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bapennas, Kepala BKKBN, Kepala Badan POM dan Direktur BLU Kementerian Keuangan.
Menurut Menkes, Rakerkesnas ini penting sebagai upaya meningkatkan koordinasi dan sinergi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk mencapai target MDGs sesuai proporsi dan kemampuan masing-masing. Target MDGs yang berkaitan dengan kesehatan adalah Penurunan angka kematian anak, Meningkatkan kesehatan ibu, dan Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya.
Menkes dalam sambutannya menyatakan sasaran pembangunan kesehatan tahun 2010 – 2014, meliputi 8 prioritas, yaitu 1) meningkatnya status kesehatan dan gizi masyarakat, 2) menurunnya angka kesakitan akibat penyakit menular; 3) menurunnya disparitas status kesehatan dan status gizi antar wilayah dan antar tingkat sosial ekonomi serta gender; 4) meningkatnya penyediaan anggaran publik untuk kesehatan; 5) meningkatnya Perilaku Hidup Bersih dan Sehat; 6) terpenuhinya kebutuhan tenaga kesehatan strategis di daerah DTPK; 7) pengendalian penyakit tidak menular di seluruh provinsi; serta 8) pelaksanaan standar pelayanan minimal (SPM) di seluruh kabupaten/kota.
Untuk mencapai kedelapan sasaran strategis pembangunan kesehatan, dibutuhkan reformasi kesehatan masyarakat yang mendasar guna mencapai tujuan tersebut. Berkaitan dengan hal itu, Kementerian Kesehatan telah menetapkan tim penyusun roadmap yang terdiri dari unsur Kementerian Kesehatan,lintas sektor, para pakar, akademisi dan pelaksana di lapangan. Tim telah berhasil menyusun roadmap reformasi kesehatan masyarakat meliputi 7 prioritas, yaitu:
Pertama, Revitalisasi pelayanan kesehatan dasar, hal ini perlu dilakukan dalam rangka mendukung berjalannya kegiatan pelayanan kesehatan dasar. Salah satu upaya penting dalam revitalisasi kesehatan dasar adalah bantuan operasional kesehatan (BOK) yaitu bantuan pembiayaan untuk operasional Puskesmas khususnya untuk mendukung upaya promotif dan preventif. Selama ini, komponen biaya operasional Puskesmas belum optimal dianggarkan oleh pemerintah daerah.
Kedua, di bidang sumber daya manusia, khususnya dalam upaya meningkatkan keberadaan (distribusi) dan menjamin mutu tenaga kesehatan. Distribusi tenaga kesehatan di daerah Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan perlu mendapat perhatian khusus. Oleh karena itu perlu disusun skenario jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang dalam perencanaan dan pengembangan sumberdaya manusia kesehatan.
Ketiga, penggalakan pemanfaatan obat generik untuk meringankan biaya pelayanan kesehatan karena sebagian besar biaya pelayanan ditentukan untuk pembelian obat. Dilain pihak perlu mempersiapkan diri agar mampu memproduksi bahan baku obat sendiri, mengingat pada saat ini 80% dari bahan baku obat berasal dari luar negeri. Juga memperkuat penggunaan jamu agar dapat dijadikan sebagai obat juga ditingkatkan dengan saintifikasi jamu.
Keempat, jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) dengan berbagai cara penjaminan saat ini baru mencapai 50,8% penduduk yang mempunyai jaminan kesehatan, dengan kontribusi terbesar dari peserta Jamkesmas. Perluasan cakupan kepesertaan terus diupayakan secara bertahap pada tahun 2014 sebagai implementasi UU SJSN mencapai 245,3 juta penduduk (100% penduduk).
Kelima, mengatasi permasalahan pelayanan kesehatan di Daerah yang Bermasalah Kesehatan (PDBK) dengan pendekatan spesifik yang tidak bisa disamakan dengan daerah lainnya. Hasil Riskesdas tahun 2007 menghasilkan instrumen pengukuran Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM). Dengan IPKM, dapat diketahui dimana daerah-daerah bermasalah tersebut dapat dipetakan berdasarkan peringkat kabupaten/kota.
Keenam, Reformasi Birokrasi dalam arti yang lebih luas, memberikan makna muatan antisipatif untuk menghindari terjadinya penyimpangan-penyimpangan administratif. Saat ini proses pengadaan barang dan jasa di Kementerian Kesehatan seluruhnya sudah melalui proses e-procurement. Reformasi birokrasi juga harus memberikan ruang untuk terjadinya transparansi data base dan prosedur-prosedur pelayanan adminstrasi di Kementerian Kesehatan.
Ketujuh, World Class Health Care. Sudah saatnya masyarakat Indonesia mendapatkan pelayanan kesehatan dengan taraf Internasional, sehingga tidak perlu lagi warga negara Indonesia perlu berobat keluar negeri. Selain memenuhi tuntutan masyarakat, upaya ini juga akan mengurangi mengalirnya devisa Indonesia yang cukup besar ke luar negeri.
Rakerkesnas Tahun 2010 mengangkat tema Melalui Good Governance Kita Wujudkan Masyarakat Sehat yang Mandiri dan Berkeadilan. Beberapa topik yang dibahas diantaranya Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010, Kebijakan Pengawasan dan Langkah-langkah Mencapai Good Governance di Lingkungan Kemkes, dan Strategi Inovatif dalam Akselerasi Pencapaian Target MDGs dan Neglected Desease.
Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon: 021-52907416-9, faks: 52921669, Call Center: 021-500567, 30413700, atau alamat e-mail :
puskom.publik@yahoo.co.id

ISU-ISU STRATEGIS & PERMASALAHAN AIR MINUM


Terdapat isu isu strategis yang diperkirakan akan mempengaruhi upaya Indonesia untuk mencapai target pembangunan air minum dalam kerangka MDG pada tahun 2015.

1. Daya Dukung Lingkungan Semakin Terbebani oleh Pertumbuhan Penduduk dan Urbanisasi
Pada tahun 2015, jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 245,7 juta jiwa, yang semuanya berhak mendapatkan akses air minum.Pada tahun 2015, jumlah penduduk perkotaan menjadi lebih besar dibandingkan dengan perkotaan dengan perbandingan 53% 47%. Pergeseran ini mengindikasikan semakin meningkatnya kebutuhan akan air minum per kapita, karena konsumsi air masyarakat perkotaan lebih besar daripada masyarakat perdesaan. Pertumbuhan penduduk terutarna diperkotaan lebih tinggi daripada pertumbuhan sarana penyediaan air minum yang ada. Sementara itu penduduk di pulau Jawa akan meningkat dengan cepat, sementara ketersediaan airnya sangat terbatas. Penggundulan hutan telah tidak terkendali sehingga semakin mengganggu ketersediaan air baku. Sedangkan sumber air baku terutarna air permukaan mengalarni pencemaran yang semakin meningkat akibat domestik, industri dan pertanian. Sehingga ketersediaan air baku semakin tidak bisa dijamin, baik kuantitas dan kualitas. Air baku di sebagian besar wilayah Indonesia sebenarnya tersedia dengan cukup, tetapi terancam keberadaannya akibat pengelolaan yang buruk, baik oleh pencemaran maupun kerusakan alam yang menyebabkan terhambatnya konservasi air. Di sebagian wilayah Indonesia seperti Kalimantan dan sebagian Sumatera air baku sulit diperoleh karena kondisi alamnya sehingga masyarakat harus mengandalkan air hujan atau air permukaan yang tidak sehat. Akibat kerusakan alam, semakin banyak wilayah yang rawan bencana air, kekeringan di musim kemarau dan kebanjiran di musim hujan.

2. Interpretasi UU no 22 tahun 2004 Tidak Mendorong Pengembangan dan Kerjasama Antar Daerah Dalarn Penyediaan Air Minum
UU No 7/2004 tentang Sumber Daya Air telah mengamanatkan dibentuknya Dewan Air untuk manajemen air secara terpadu dan Badan Pengatur untuk mengurusi air minum. Tetapi hingga saat ini lembaga lembaga tersebut belum terbentuk. Belum adanya lembaga yang mengatur tata guna air secara terpadu menyebabkan persoalan air di Indonesia ditangani secara sektorat sehingga tidak terarah dan tidak terintegrasi. Dengan otonomi daerah, kewenangan penyediaan air adatah pada pemerintah daerah. Tetapi kebanyakan pemerintah daerah belum memandang air sebagai persoalan prioritas. Pemekaran wilayah yang berdampak pada pemekaran PDAM, sehingga terbentuk PDAM berukuran kecil dan cenderung tidak efisien, ditambah lagi permasalahan sumber air baku terletak diluar batas administrasi pengelola PDAM, sehingga menjadi kendala untuk peningkatan pelayanan.

3. Kebijakan Yang Memihak Kepada Masyarakat Miskin Masih Belum Berkembang
Pada dasarnya negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari hari guna memenuhi kehidupan yang sehat, bersih dan produktif (UU No 7 tahun 2004, pasal 10). Namun pada kenyataannya presentase penduduk miskin masih tinggi, sehingga kemampuan untuk mendapat akses kesarana penyediaan air minum yang memenuhi syarat masih terbatas. Masyarakat berpenghasilan rendah, ternyata membayar lebih besar untuk memperoleh air daripada masyarakat berpenghasilan tinggi, hal ini menunjukkan ketidak adilan dalam mendapatkan akses pada air minum. Walaupun sudah terdapat program program air minum dan sanitasi untuk masyarakat berpenghasilan rendah, namun akses terhadap air minum belum menunjukkan peningkatan yang berarti. Perlu dukungan kebijakan yang lebih fokus untuk penyediaan sanitasi dan air minum bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

4. PDAM Tidak Dikelola Dengan Prinsip Kepengusahaan
Air minum perpipaan sebagai sistem pelayanan air minum yang paling ideal hingga saat ini baru dapat dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat Indonesia. Secara nasional, cakupan air perpipaan baru sekitar 17%, meliputi 32% di perkotaan dan 6,4% di perdesaan. Pada umumnya PDAM secara rata rata nasional mempunyai kinerja yang belum memenuhi harapan. Seperti tingkat pelayanan yang rendah (32%), kehilangan air tinggi (41%), konsumsi air yang rendah (14 m3/bulan/RT). Biaya produksi tergantung dari sumber air baku yang digunakan oleh PDAM. Namun secara umum biaya produksi untuk sernua jenis air baku ternyata lebih tinggi daripada tarif. PDAM yang menggunakan mata air sebagai sumber air baku, biaya produksi rata rata Rp 787/m3, sedangkan tarif rata-rata Rp 61 8/m3. PDAM yang menggunakan mata air, sumur dalam dan sungai sekaligus, biaya produksi rata rata Rp 1.188/m3 , dan tarif rata rata Rp 1.112/m3. Sedangkan PDAM yang mengandalkan sungai sebagai sumber air baku, biaya produksi rata rata Rp 1.665/m3 , dan tarif rata rata Rp 1.175/m3. PDAM belum mandiri karena campur tangan pemilik (Pemda) dalam manajemen dan keuangan, cukup membebani PDAM. Sumber daya manusia pengelola PDAM umumnya kurang profesional sehingga menimbulkan inefisiensi dalam manajemen. Dari segi keuangan, tarif air saat ini tidak bisa menutup biaya operasi PDAM, sehingga PDAM mengalami defisit kas, dan tidak mampu lagi menyelesaikan kewajibannya. PDAM masih mempunyai hutang jangka panjang yang cukup besar dan tidak terdapat penyelesaian yang memuaskan. Banyak PDAM yang mengabaikan pelayanan dan kepentingan pelanggan, keluhan pelanggan sering tidak ditanggapi dengan baik oleh PDAM, pelanggan merasa tidak berdaya. Hal ini menandakan kedudukan antara konsumen dan produsen tidak setara. Walaupun dibeberapa PDAM sudah terbentuk forum pelanggan/konsumen, namun perannya belum maksimal, belum dianggap mitra kerja PDAM yang potensial. Pengawasan/akuntabititas terhadap pengelolaan penyedia air minum masih lemah, belum ada sanksi untuk penyelenggara air minum yang tidak memberikan pelayanan sesuai dengan syarat yang ditentukan. Badan pengawas masih lemah/kurang berfungsi. Berdasarkan uraian diatas, dari 300 lebih PDAM yang ada di Indonesia, sebagian besar mengalami kendala dalam memberikan pelayanan yang baik akibat berbagai persoalan, baik aspek teknis (air baku, unit pengolah dan jaringan distribusi yang sudah tua, tingkat kebocoran, dan lain lain) maupun aspek non teknis (status kelembagaan PDAM, utang, sulitnya menarik investasi swasta, pengelolaan yang tidak berprinsip kepengusahaan, tarif tidak full cost recovery, dan lain lain).
5. Kualitas Air Belum Memenuhi Syarat Air Minum
Kualitas yang diterima pelanggan dari PDAM masih berkualitas air bersih, belum memenuhi syarat kualitas air minum. Padahal didalam peraturan sudah diisyaratkan bahwa yang dimaksud dengan air minum adalah air yang bisa dikonsumsi tanpa dimasak terlebih dahulu. Masyarakat tidak memahami akan hak haknya untuk memperoleh air yang sesuai dengan persyaratan air minum yang ada, sehingga masyarakat sering menerima saja apa yang diterima dari penyedia air minum. Sedangkan PDAM tidak pernah menginformasikan kualitas air minum yang mereka sediakan kepada masyarakat. Apabila masyarakat bisa memperoleh air dengan kualitas air minum, diperkirakan angka penyakit yang ditularkan atau yang berhubungan dengan air akan bisa berkurang 80%.

6. Keterbatasan Pembiayaan Mengakibatkan Rendahnya Investasi Dalam Penyediaan Air Minum
Sampai tahun 1996 masih terdapat investasi yang cukup berarti dalam penyediaan air minum, yang meliputi hibah pemerintah (pusat dan daerah), dan pinjaman dalam dan luar negeri. Sejak itu kemampuan pemerintah semakin terbatas dalam membiayai investasi sarana penyediaan air minum, termasuk pula pinjaman baik dari dalam maupun luar negeri. Investasi dalam bidang air minum sangat tergantung dari pinjaman dari dalam negeri dan terutama dari luar negeri. Sementara sumber sumber keuangan untuk investasi melalui pinjaman semakin terbatas, dan akan semakin terhambat oleh hutang PDAM, apabila tidak terdapat penyelesaian yang mernuaskan. Apabila untuk sektor perumahan terdapat pembiayaan yang murah untuk pembangunannya, bahkan dimasa yang lalu pernah didanai melalui Kredit Likuiditas Bank Indonesia, sektor air minum yang merupakan hajat hidup orang banyak tidak terdapat sumber dana murah yang bisa diakses oleh PDAM. Sumber pembiayaan sampai saat ini masih mengandalkan pinjaman dan hibah yang semakin terbatas jumlahnya, dan belum berkembang sumber pendanaan alternatif seperti obligasi. Dilain pihak terdapat Pemerintah Kota/Kabupaten yang mempunyai pendapatan yang tinggi dari PAD atau Bagi Hasil (PPn, PPh, dan PBB), namun kurang mempunyai perhatian terhadap pengembangan sektor air minum.

7. Kelembagaan Pengelolaan Air Minum Yang Ada Sudah Tidak Memadai Lagi Dengan Perkembangan Saat Ini
Fungsi PDAM sampai saat ini operator penyedia air minum dan sekaligus sebagai pengatur kebijakan air minum didaerah. Disamping itu terdapat ambiguitas misi PDAM, karena ketidakjelasan antara misi sosial dan misi komersial. Sementara itu dalam UU No 7 tahun 2004 (SDA) telah mengamanatkan pembentukan badan pengatur yang bertujuan untuk pengembangan sistem penyediaan air minum dan sanitasi, yang sampai saat ini belum terbentuk. Didalam UU No 7 tahun 2004 (SDA) diamanatkan bahwa penyelenggaraan pengembangan sistem penyediaan air minum diatur datam Peraturan Pemerintah, saat ini sedang dalam penyusunan. Dari lebih 300 PDAM yang ada, hanya sebagian kecil (3%) yang mempunyai pelanggan diatas 100.000 sebagian besar (49%) PDAM berukuran kecil dengan pelanggan dibawah 10.000 sehingga skala ekonominya kurang atau tidak menguntungkan.

8. Kemitraan Pemerintah dan Swasta Dalam Penyediaan Air Minum Kurang Berkembang
Belum terdapat kesamaan persepsi dan kesepakatan tentang keterlibatan swasta dalam penyediaan air minum, dikalangan pemerintah Kota/Kabupaten. Akibatnya pengelola penyediaan air minum dan atau pemerintah daerah belum siap dalam bermitra dengan swasta. Belum terdapat aturan yang cukup mantap dan komprehensip bagi kemitraan pemerintah swasta dalam penyediaan air minum. Proses penyediaan ijin kepada swasta yang berminat jadi penyedia air minum belurn optimal. Sehingga swasta merasa investasi tidak aman dan tidak terjamin pengembaliannya. Belum terdapat skema pembiayaan yang mendukung keterlibatan swasta datam penyediaan air minum. Umumnya swasta mendapat pembiayaan dari bank dengan bunga komersial, sehingga biaya keuangan yang tinggi mengakibatkan tarif yang tinggi dan membebani petanggan. Ketentuan pengaturan tarif air minum yang saat ini berlaku, harus mendapat persetujuan oleh DPRD. Ketentuan ini mengakibatkan swasta merasa kepentingannya kurang terlindungi.

9. Kemitraan Pemerintah dan Masyarakat Dalam Penyediaan Air Minum Kurang Berkembang

Peran serta masyarakat datam penyelenggaraan penyediaan air minum masih terbatas.Kelembagaan masyarakat yang tertibat dan berkecimpung dalam penyediaan air minum tidak berkembang.

10. Pemahaman Masyarakat Tentang Air Minum Tidak Mendukung Pengembangan Air Minum
Sebagian besar masyarakat Indonesia, menyediakan air minum secara mandiri, tetapi tidak tersedia cukup informasi tepat guna hal hal yang terkait dengan persoalan air, terutama tentang konservasi dan pentingnya menggunakan air secara bijak. Masyarakat masih menganggap air sebagai benda sosial. Masyarakat pada umumnya tidak memahami prinsip pertindungan sumber air minum tingkat rumah tangga, maupun untuk skala lingkungan. Sedangkan sumber air baku (sungai), difungsikan berbagai macam kegiatan sehari hari, termasuk digunakan untuk mandi, cuci dan pembuangan kotoran/sampah. Sebagian masyarakat masih menganggap bahwa air hanya urusan pemerintah atau PDAM saja, sehingga tidak tergerak untuk mengatasi masalah air minum secara bersama. Belum ada kesepahaman dari semua stakeholders termasuk stakeholders didaerah dan masayarakat, tentang tujuan dan target target MDG, khususnya di bidang air minum, serta peran strategis pencapaian target MDG tersebut bagi kemajuan pembangunan air minum di Indonesia. Keterlibatan perempuan sebagai pengguna utama dan pengelota air minum dalam skala rumah tangga, pada setiap tahapan pengembangan penyediaan air minum masih sangat kurang. Ditingkat pemerintah pusat telah cukup banyak NSPM tentang penyediaan air minum masih yang dihasilkan, namun kurang dan tidak tersebar luas pada tingkat pemerintah daerah maupun masyarakat. (digilib-ampl.net)