Rabu, Agustus 24, 2011
Minggu, Agustus 07, 2011
Dua Desa Stop BAB di Sembarang Tempat, Dikunjungi Direktur Penyehatan Lingkungan
Kamis, Agustus 04, 2011
Semangat Kepala Desa Untuk Stop Buang Air Besar Di Sembarang Tempat
Pada saat dilakukan sosialisasi awal tingkat desa, bahwa penerimaan dana bantuan program Pamsimas Termin I dari hasil sertifikasi CLTS jamban minimal 80% KK harus bebas dari buang air besar sembarangan. Untuk kegiatan program kesehatan yang dituangkan dalam Rencana Kerja masyarakat dilakukan CLTS lanjutan di tiap-tiap dusun 2 kali pemicuan, serta kegiatan promosi kesehatan oleh tim desa yang terdiri dari kader kesehatan termasuk bidan desa dan tim kecamatan yang terdiri dari sanitarian puskesmas. untuk mengubah perilaku buang air besar sembarangan dan menumbuhkan kebutuhan masyarakat akan jamban.
Faktor penentu agar masyarakat mau mengubah perilaku buang air besar sembarangan adalah peran kepala desa Bapak Fatoni yang selalu memotivasi KK yang belum membangun jamban.
Dengan pengaruh kewibawaan Kepala Desa yang besar, akhirnya masyarakat merasa sungkan dan akhirnya membangun jamban. Hasil kerja keras kepala desa terlihat dari progress bulanan yang menunjukkan penambahan yang signifikan. Hal ini terlihat dari catatan kartu monitoring yang ditempel di setiap rumah pada bulan Februari minggu III menujukkan kepemilikan jamban sudah semua rumah memiliki jamban dan semua KK sudah Buang Air Besar di Jamban.
Sebagai syarat bahwa desa tersebut layak sebagai desa Bebas Buang Air Besar Sembarangan, maka dilakukan verifikasi dari tim verifikasi yang terdiri dari Kepala PUSKESMAS Tempuran, Ibu dr.Angraeni, Petugas Sanitarian Bpk Agung, Kasie PL Dinkes Bpk Didit dan Ibu Malikah, LSM dibantu Perangkat Desa. Hasill verifikasi 297 KK (100%) sudah memiliki jamban dengan demikian desa layak Bebas Buang Air Besar Sembarangan.
Berdasarkan hasil verikiasi tersebut maka pada tanggal 28 Februari 2011 desa Growong mendeklarasikan diri sebagai desa yang telah bebas buang air besar sembarangan tempat.
Acara deklarasi diawali dengan laporan hasil verifikasi oleh Kepala Puskesmas Temuran, Deklarasi BBABS dipimpin oleh Kepada desa Bapak Fatoni diikuti semua tamu undangan, Ikrar PHBS oleh siswa-siswai SD, sambutan dan pengarahan Camat Kecamatan Tempuran Bapak Darmono, S.Sos dilanjutkan dengan penandatanganan prasasti SBABS.
Sehingga pelaksanaan program Pamsimas terutama dalam meningkatkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat pada masyarakat dapat dikatakan berhasil. Semua hasil yang telah dicapai tidak terlepas dari peran serta aktif seluruh elemen masyarakat Desa Growong dalam merencanakan, melaksanakan dan memonitor kegiatan Program Pamsimas. (Agus Surono HHS Magelang)
Rabu, Agustus 03, 2011
Desa Pringombo Kecamatan Tempuran Menuju Desa Sehat
Sebelum ada program PAMSIMAS, 60 KK dari 171 KK yang menetap di Desa Pringombo, belum berperilaku hidup bersih dan sehat dalam hal buang air besar.
Desa Pringombo, Kecamatan Tempuran, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah, merupakan salah satu desa penerima program PAMSIMAS TA 2010. Secara wilayah Desa Pringombo terbagi dalam 2 dusun dengan jumlah KK seluruhnya adalah 171 KK dan terdiri dari 171 rumah.
Pada awal sebelum dimulainya program PAMSIMAS, dari total 171 KK yang ada di Desa Pringombo, yang mempunyai akses ke jamban saniter baru sebanyak 111 KK (64,9%), sisanya (35,1%) masih buang air besar di kolam lele. Hal ini menunjukkan bahwa 60 KK di Desa Pringombo, belum berperilaku hidup bersih dan sehat dalam hal buang air besar.
Namun setelah program PAMSIMAS hadir di desa ini, dan berdasarkan hasill verifikasi, kini 171 KK atau 100% warga, sudah memiliki jamban yang memenuhi kriteria sehat. Karena itu layak dinobatkan sebagai desa Bebas Buang Air Besar Sembarangan.
Sosialisasi dan promosi kesehatan dikala keinginan untuk mewujudkan desa sehat menjadi penting. Ketika sosialisasi terus dilakukan di dusun-dusun, disertai dengan promosi kesehatan yang dilakukan oleh desa yang terdiri dari kader kesehatan, termasuk bidan desa dan tim kecamatan yang terdiri dari sanitarian puskesmas dan dinkes, maka saat dilakukan kegiatan pemicuan, terhadap masyarakat untuk mengubah perilaku buang air besar sembarangan dan menumbuhkan kebutuhan masyarakat akan jamban, mereka pun akhirnya terpicu dan sadar akan pentingnya kesehatan.
Sang kepala desa, Sulaeman pun sangat berperan aktif untuk mendukung perubahan perilaku hidup bersih sehat ini. Pak kades selalu memotivasi para KK yang belum membangun jamban untuk segera membangun di rumahnya. Karena pengaruh besar pak kades inilah akhirnya masyarakat merasa sungkan dan mau membangun jamban meski dengan desain yang sederhana.
Hasil kerja keras kepala desa terlihat dari progress bulan yang menunjukkan signifikan. Hal ini terlihat dari kartu monitoring yang ditempel di setiap rumah pada Februari minggu III, menunjukkan kepemilikan jamban sudah dimiliki semua rumah, dan semua KK sudah Buang Air Besar di jamban.
Dari verifikasi yang dilakukan sebagai syarat oleh tim verifikasi kecamatan, Kepala Puskesmas Tempuran, Sanitarian, Dinkes, LSM, dibantu Kades, hasilnya, 171 KK atau 100% sudah memiliki jamban. Maka itu layak sebagai desa Bebas Buang Air Besar Sembarangan.
Akhirnya pada Februari 2011 lalu, Desa Pringombo mendeklarasikan diri sebagai desa yang telah bebas buang air besar sembarangan tempat, yang ditandai dengan penandatangan prasasti oleh Camat Tempuran, Darmono. S.Sos. Pelaksanaan program PAMSIMAS terutama dalam meningkatkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat pada masyarakat dapat dikatakan berhasil. Semua hasil yang telah dicapai tidak terlepas dari peran serta aktif seluruh elemen masyarakat Desa Pringombo dalam merencanakan, melaksanakan dan memonitor kegiatan Program PAMSIMAS. Ini diamini oleh Pak Kades, bersama tim fasilitator dan LKM Pringombo, sebagai lembaga yang memfasilitasi kepentingan masyarakat Desa Pringombo. Bidan desa, Kader Posyandu tiap dusun dan Sanitarian Puskesmas Tempuran, memberikan penyuluhan kesehatan, serta senantiasa mengajak masyarakat, untuk mau meninggalkan kebiasaan buang air besar di sembarang tempat. (Agus Surono-HHs DMAC Kab. Magelang, Poetoet Harijanto- HHs PMAC; Rita) |
Kamis, Juli 28, 2011
Gerakan Membangun Kesadaran Total Stop Buang Air Besar Sembarangan
Bagi mereka STBM banyak aying warna dalam mengisi aktifitas kedinasan. Rupanya tidak salah jika ketua TKK “Ir Tiwa Sukrianto MS” menerapkan strategi keteladanan dalam membangun kesadaran masyarakat STOP BABS. PaK Kuwu Ma’sum dan laskarnya tidak pernah buntu dengan model pendekatan, seribu satu lebih cara dijajagi untuk mewujudkan angan-angannya agar masyarakatnya terbebas dari kebiasaan buruk buang air besar sembarangan. Kemampuannya dibidang dakwah dan kepiawaiannya dalam menguasai teknologi computer menjadi pelengkap dalam memadukan strategi pemicuan. Tidak jarang selama kurang lebih 2 bulan beliau bergerilya dari satu wilayah dusun ke dusun berikutnya untuk kampaye sanitasi. Pulang larut malam baginya tidaklah asing, sang istripun tetap tersenyum demi membakar semangat dan angan-angannya agar menjadi kenyataan.
Sepenggal kisah di atas menggambarkan bahwa semangat dan tidak mudah menyerah pada tantangan merupakan pembelajaran berharga yang bisa kami petik. Suatu waktu Pak Kuwu masum pernah didamprat dengan kata-kata pedas tokoh masyarakat, begini ceritanya; ketika menyemangati masyarakat yang sedang bergotong royong membangun jamban tiba-tiba seseorang dengan lantangnya berkata “mun pak Kuwu teu bisa nyuksesken ieu program kalayan teu bisa ngarobah masyarakat di lingkungan padumukan pak Kuwu sorangan, leuwih hade kaluar ti ieu dusun” (kalau pak Kuwu tidak bisa mengajak masyarakat untuk berubah dan mensukseskan program di tempat tinggal pak Kuwu sendiri lebih baik pindah dari dusun tempat tinggalnya”.
Perkataannya pedas tapi di balik itu ada pesan mendalam yang membuat pak Kuwu lebih terdorong untuk terus dan terus berkarya demi kemajuan masyarakat di desanya terutama dalam program STBM. Hari berganti bulan, akhirnya selama 3 bulan masa penantian angan-angan itu menjadi kenyataan. Sukses desa margaharja menjadi inspirasi Pak Camat Yoyo untuk mengembangkan program ke desa-desa lainnya di wilayah Kecamatan Sukadana.
Minggon kecamatan menjadi momen tepat bagi Pak camat untuk menyampaikan ide dalam mensukseskan program STBM. Perang terhadap kebiasaan buang hajat sembarangan mulai digenderangkan. Sasaran utamanya adalah para pemimpin desa (KUWU dan perangkatnya, BPD, LPM, MUI serta tokoh masyarakat dan PKK). Gayung bersambut para kepala desa di luar desa Margaharja mulai unjuk keberanian dengan menyatakan “Kuring oge sanggup siga Margaharja, maenya batur bisa urang teu bisa” demikian para Kuwu beretorika, terutama pak Kuwu Suyud dari Desa Sukadana.
Memasuki akhir tri wulan II, tepatnya bulan Maret 2010, Kami dari Kabupaten (dr Pupung, Casuli, Agus, Yaya, Kocim, Ii, Pera dan Yuli) mendapat undangan untuk memberikan pemicuan ke beberapa lapisan masyarakat di Aula Bale Desa Sukadana. Tentunya kehadiran kami didampingi pak Camat Yoyo. Perdebatan paska kampaye menjadi semakin seru ketika ada sekelompok orang tidak meyakini akan keberhasilan program ini. Lagi-lagi pak Kuwu Suyud berusaha meyakinkan bahwa program ini akan berhasil dengan catatan punya semangat dan aksi nyata. Dua minggu kemudian kami mendapat undangan untuk melakukan verifikasi data di lapangan, namun aying seribu aying tim masih menemukan sebagian kecil masyarakat yang masih “DOLONG” (buang air besar di kolam). Kondisi ini menjadi pemicu tim kerja desa untuk terus melakukan kampaye sanitasi STOP BABS. Dibantu dengan Paguyuban Desa Siaga, lambat laun akhirnya terjadi perubahan. Bertepatan dengan tanggal 26 Mei 2010, setelah dilakukan verifikasi tim Kabupaten dan Tim Propinsi, Desa Sukadana Kecamatan Sukadana dinyatakan sebagai Desa kedua di Kecamatan Sukadana sebagai Desa ODF.
Keberhasilan gerakan sanitasi total berbasis masyarakat ini mendorong Desa Margajaya, Desa Ciparigi, Desa Salakaria dan Desa Bunter untuk mengikuti jejak keberhasilan desa tetangganya. Masih pada bulan yang sama di tahun 2010, Desa Margajaya dan Desa Salakaria menyusul menyandang status Desa ODF. Si bungsu Desa Bunter dan Desa Ciparigi terus berlomba. Kondisi ini mendorong Pak Camat untuk terus melakukan pemicuan. Keteladanan dan jalinan kerjasama tim Kecamatan yang baik menjadi bagian penting keberhasilan STBM di Wilayah Kecamatan Sukadana.
Sepenggal kisah duka pernah menimpa arjuna sanitasi “Karnen Haryadi” di kala harus keliling melakukan monitoring proses aktualisasi perubahan STOP BABS, hujan pun turun disertai badai kecil, sehingga menenggelamkan sebagian jalan desa. Tiba-tiba door, ban sepeda motornya pecah. Kring HP Ketua DPMU pun bunyi, “pak punten abi Karnen, antos ban bitu”. Sedih memang mendengarnya, tapi itu tidak berlangsung lama karena setengah jam kemudian pak Karnen pun sudah kembali bergabung dengan tim. Semua rasa letih dan duka, kini menjadi sirna karena pada bulan Juni 2010 seluruh desa di wilayah Kecamatan Sukadana dinyatakan sebagai DESA ODF (8040 KK/22619 jiwa).
Kini Kecamatan Sukadana menyandang Kecamatan pertama di Bumi Tatar Galuh Ciamis sebagai Kecamatan ODF, bahkan mungkin di JAWA BARAT. Amin. Hanya baru untaian ucapan terima kasih, semoga pihak pemerintah daerah segera mendeklarasikan status Kecamatan ODF. Sabar Pak…..
Masih banyak penggalan kisah yang ingin kami muat, tapi aying, kami harus menyiapkan bahan untuk Rakor STBM. Selamat Kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu mensukseskan dan mempublikasikan kegiatan STBM Kab Ciamis.
Oleh Casuli, SKM
Kepala Seksi Penyehatan Lingkungan, Dinas Kesehatan Kabupaten Ciamis
Selasa, Juli 26, 2011
Ketika Sanitasi Bicara Angka
Seringkali kita tidak sadar bahwa kondisi sanitasi kita demikian buruk. Bukan karena kondisi itu tidak ada di sekitar kita, tetapi sebaliknya justru probem-problem itu begitu dekat dengan kita. Angka-angka berikut barangkali dapat membantu kita untuk menyadari bahwa persoalan yang membelit sektor sanitasi bukan persoalan kecil.
56 triliun rupiah adalah jumlah uang terbuang sia-sia setiap tahun akibat kondisi sanitasi yang buruk di Indonesia. Angka ini jelas sangat besar: setara dengan 2,3% PDB; setara dengan biaya membangun 12-15 juta unit toilet dengan tangki septik yang layak; atau sekitar 25% anggaran pendidikan nasional per setahun. Celakanya, kerugian ekonomi dan finansial itu harus ditanggung pemerintah dan masyarakat. Menurut studi Bank Dunia, kerugian tersebut bisa dikurangi jika kondisi sanitasi diperbaiki.
47.000 rupiah adalah investasi per kapita yang diperlukan untuk memperbaiki kondisi sanitasi, melalui: pengurangan 6-19% biaya kesehatan dan peningkatan 34-79% jumlah waktu produktif. Dengan jumlah penduduk 220 juta, angka investasi akan mencapai 11 triliun rupiah per tahun. Tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan pengeluaran untuk biaya telepon selular yang mencapai sedikitnya 35 triliun per tahun (180 juta pelanggan; 15 ribu per bulan per pelanggan).
40 triliun rupiah per tahun merupakan jumlah uang yang bisa dihemat oleh pemerintah dan masyarakat jika kondisi sanitasi diperbaiki. Sebaliknya, jika investasi tidak segera dilakukan, kerugian ekonomi yang harus ditanggung akan semakin naik seiring dengan pertambahan jumlah penduduk yang mencapai 2,8 juta per tahun.
24,8% penduduk atau lebih dari 60 juta orang masih BAB sembarangan alias tidak menggunakan jamban atau toilet untuk menunaikan “hajat besar” mereka. Dahsyat sekali mengingat jumlah itu setara dengan seluruh penduduk Inggris, atau Prancis, atau Italia. Sulit membayangkan seluruh penduduk di negara-negara maju itu rame-rame BAB sembarangan. Bahkan, kalau memperhitungkan ada-tidaknya tangki septic dan kualitasnya, maka jumlah penduduk yang BAB sembarangan mencapai 51% atau lebih dari 110 juta orang.
6,4 juta ton dan 64 juta meter kubik adalah produksi tinja dan urin per tahun. Kalau 51% penduduk masih digolongkan BAB sembarangan, berarti 3,2 juta ton tinja dan 32 juta meter kubik urin per tahun dibuang sembarangan: mencemari sungai, sumber air, selokan, pelataran, dan sebagainya. Atau tiap hari kita mencemari lingkungan dengan tinja seberat 8.700 gajah dan urin sebanyak volume 21 Danau Toba. (Percik Edisi khusus PPSP)
Sulitnya Menjadi Penyuluh Sanitasi Di Desa
Salah satu daerah pesisir ini adalah Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT). Lembata terus berbenah menggerakkan kesadaran masyarakat dan mengubah perilaku menjadi lebih sehat. Pemerintah daerah setempat menargetkan 30 desa menjalani perilaku hidup bersih sehat melalui
program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM), pada 2012 nanti.
LSM, pemerintah daerah, puskesmas, dan sanitarian sebagai fasilitator berkolaborasi untuk menjalani program ini. Fasilitator datang ke desa membawa enam pesan STBM. Lima pesan yang diterapkan skala nasional adalah mengajak masyarakat tidak buang air besar sembarangan (BABS), cuci tangan pakai sabun (CTPS), mengelola limbah rumah tangga, mengelola air minum, dan mengelola limbah cair. Satu lagi pilar dalam konteks lokal Lembata, pengasingan ternak dari rumah tempat tinggal.
Emerensia Benidau Amd Kesling (28), perempuan kelahiran Lembata, memilih terlibat dalam program ini sebagai sanitarian. Setelah menyelesaikan pendidikan D-3 Kesehatan Lingkungan di Yogyakarta, perempuan yang akrab dipanggil Erni ini memutuskan kembali ke Lembata, kampung halamannya.
Erni bekerja di puskesmas Waipukang, ibukota kecamatan Ile Ape, kabupaten Lembata, NTT. Sejak 2006 lalu, ibu yang tengah hamil anak kedua ini resmi diangkat sebagai pegawai negeri sipil di Lembata, sebagai sanitarian.
"Sejak lama saya ingin bekerja di bidang kesehatan. Apalagi di sini, banyak program yang dijalankan namun tenaga tidak ada. Satu orang di puskesmas bisa mengerjakan dua atau tiga program. Mama yang menjadi perawat di puskesmas di kecamatan lain, menjadi pemicu saya untuk bekerja di kesehatan," tutur Erni kepada Kompas Female, seusai peresmian desa total sanitasi di Watodiri, Ile Ape, Lembata, NTT, Sabtu (16/4/2011) lalu.
Sebagai sanitarian, Erni bersentuhan langsung dengan masyarakat memberikan penyadaran perilaku hidup sehat, melalui program STBM. Tidak mudah baginya mengubah perilaku masyarakat untuk hidup lebih sehat. Butuh proses untuk mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya kesehatan serta mengidentifikasi persoalan di desa. "Masyarakat perlu diberitahukan pelan-pelan mengenai lima pilar STBM, agar mereka memahami dan mau mengubah perilaku," jelasnya.
Bagi Erni, tantangan terbesar menjadi sanitarian di pedesaan adalah berhadapan dengan para orangtua. Para generasi pendahulu ini sudah terbiasa hidup dengan pola tak sehat, seperti buang air besar sembarangan. Saat sanitarian masuk desa untuk memberikan pemicuan dan penyuluhan untuk perubahan perilaku, tak sedikit orangtua yang tersinggung.
"Orangtua merasa malu dan tersinggung. Rasa malu muncul karena soal WC saja mereka harus diatur orang lain. Banyak warga yang memiliki rumah layak tetapi tidak punya jamban. Hal mendasar ini belum disadari para orangtua, inilah yang membuat mereka malu dan tersinggung," jelas Erni, menambahkan rasa malu inilah juga yang mendorong orangtua mengubah perilakunya agar lebih sehat lagi.
Mengambil hati orangtua menjadi tantangan bagi sanitarian desa seperti Erni. Meski begitu, sanitarian selalu punya cara menyampaikan maksudnya. Alhasil, kini 133 rumah tangga di Watodiri dan 75 rumah tangga di Lamaau, Ile Ape Timur, sudah bebas BABS. Dua desa inilah yang menjadi area kerja Erni. Warga di dua desa total sanitasi ini membangun jamban atas kesadaran dan biaya sendiri. Perilaku masyarakat mulai berubah lebih sehat berkat dorongan fasilitator, termasuk sanitarian.
"Perubahan perilaku ini merupakan langkah besar bagi warga terutama para orangtua. Saat menjalani pemicuan, tak sedikit dari para orangtua ini yang menangis. Mengingat kebiasaan lama yang mereka lakukan menimbulkan rasa malu. Kemudian mereka pelan-pelan mengubah perilaku," jelasnya.
Sanitarian punya peran dalam pemicuan, kata Erni. Namun, lanjutnya, kepala desa punya peran jauh lebih besar. Keberhasilan desa menjalani perilaku hidup sehat tergantung kepada upaya kepala desa.
"Petugas sanitasi datang memberikan dorongan, namun bapak desa yang lebih sering berhadapan dengan warga desa. Bapak desa perlu terus-menerus berbicara dan memberikan motivasi. Jika kepala desa mati angin, percuma saja program pemicuan perubahan perilaku hidup sehat di desa," tambahnya.
Saat ini, ada 16 desa di Ile Ape. Sekitar delapan desa sudah mengikuti pemicuan sejak 2008. Namun hanya Watodiri yang sudah resmi mencanangkan desanya sebagai desa total sanitasi (STBM).
"Ukuran sederhananya adalah kepemilikan jamban. Di Watodiri, semua rumah sudah memiliki jamban. Sedangkan di desa lain masih ada belasan rumah yang belum memiliki jamban," jelas Erni, yang bersuamikan pria asal Ile Ape.
Sanitasi, Hak Asasi yang Belum Dinikmati Semua
Di hadapan 198 duta sanitasi dari 33 provinsi seluruh Indonesia dan Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu (SIKIB), Hermanto mengatakan, masalah sanitasi menjadi keprihatinan dunia. Bagaimana tidak, sekitar 2,6 milyar penduduk dunia belum memiliki akses sanitasi yang baik. Faktor perilaku menjadi kendala utama.
Di Indonesia sendiri, penduduk yang memiliki akses sanitasi layak baru mencapai 51,2 persen. Dengan jumlah itu, diperkirakan hampir 50 persen anak-anak Indonesia tumbuh dalam rumah tangga yang belum memiliki akses sanitasi layak.
Sebagian lagi penduduk masih menggunakan sungai sebagai tempat membuang hajat dan limbah rumah tangga. Wajar bila 76,3 persen sungai di Jawa, Sumatera, Bali dan Sulawesi tercemar.
Laporan Economic Impact of Sanitation in Indonesia menyatakan bahwa sanitasi buruk menjadi penyumbang bagi meningkatnya penyakit diare. Dari jumlah tersebut anak-anak menjadi korban terbanyak, bahkan lebih banyak dari masalah gizi buruk pada balita. Selain itu, sanitasi yang buruk, menyebabkan Indonesia mengalami sedikitnya 120 juta kasus penyakit dan 50.000 kematian dini tiap tahun.
"Laporan Economic Impact of Sanitation in Indonesia memperkirakan biaya pemulihan pencemaran air mencapai Rp 13,3 trilyun per tahun, hampir sama dengan APBN bidang sanitasi yang dialokasikan untuk lima tahun," ujar Hermanto.
Menurutnya, hal tersebut tentu saja tidak sepadan. "Kita harus menghentikan pencemaran air dan membangun perilaku yang peduli terhadap sanitasi jika ingin pembangunan sanitasi yang kita cita-citakan berhasil," jelas Hermanto.
Jambore Sanitasi ketiga setelah 2008 dan 2010 ini diselenggarakan dalam rangka menyiapkan duta atau penyuluh sanitasi muda yang akan berperan aktif dalam pembangunan masyarakat peduli sanitasi secara berkelanjutan.
Dirjen Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum Budi Yuwono menegaskan, Indonesia memiliki target untuk meningkatkan proporsi rumah tangga terhadap akses sanitasi yang berkelanjutan menjadi 62,41 persen pada 2015.
Untuk itu, pemerintah pusat juga telah mengalokasikan APBN sebesar Rp 14,2 trilyun untuk pembangunan infrastruktur sanitasi permukiman pada tahun anggaran 2010-2014.
Namun, lanjutnya, pembangunan sanitasi permukiman di Indonesia bukanlah masalah infrastruktur semata, tapi juga masalah perilaku. Banyak fakta di masyarakat, infrastruktur canggih sekalipun menjadi sia-sia jika perilaku masyarakat belum berubah.
Jambore sanitasi ini berlangsung hingga 25 Juni. Nantinya akan terpilih para duta sanitasi. Jambore ini diisi berbagai kegiatan di antaranya, edukasi, kampanye, dan publikasi. Ada juga workshop sanitasi dan pengembangan keahlian, kunjungan lapangan, audiensi ke kementerian terkait dan ibu Negara—jika memungkinkan, aksi simpatik dan wisata, pentas kesenian, serta pameran. Tahun ini Jambore Sanitasi mengambil tema: Sanitasi dan Kualitas Anak Indonesia. MJ
Siswa Melek Sanitasi, sebuah Harapan Perubahan
Saat ini, penduduk yang memiliki akses sanitasi layak baru mencapai 51,2 persen. Dengan jumlah itu, diperkirakan hampir 50 persen anak-anak Indonesia tumbuh dalam rumah tangga yang belum memiliki akses sanitasi layak.
Maka menjadi penting, bagaimana menjadikan anak-anak ini sebagai obyek bagi penyadaran akan pentingnya sanitasi bagi kehidupan mereka dan keluarganya. Salah satu jalan yang bisa ditempuh untuk itu adalah melalui sektor pendidikan.
Mengapa? Persoalan sanitasi yang utama adalah perilaku. Dan anak adalah obyek yang mudah dibentuk melalui proses edukasi dan advokasi. Internalisasi perilaku yang baik terkait sanitasi akan menjadikan anak sebagai agen perubahan di keluarga dan masyarakat di sekitarnya secara signifikan.
Bayangkan jumlah siswa di Indonesia lebih dari 32, 3 juta (http://nisn.jardiknas.org, Juli 2010), mulai tingkat sekolah dasar hingga menengah atas. Kalau mereka semua melek terhadap sanitasi dan kemudian menjadi agen perubahan ke arah perilaku yang baik, hasilnya akan luar biasa.
Tentu, semuanya butuh waktu. Mereka tidak bisa dididik secara instan. Ingat, bahwa perilaku menyangkut kebiasaan. Butuh penyadaran dan pembiasaan secara terus menerus khususnya di sekolah. Ini bukan pekerjaan mudah karena bagi mereka yang di rumah belum memiliki akses sanitasi yang baik, benturan akan terjadi.
Di sinilah, perubahan perilaku anak memang mau tidak mau harus menyertakan para guru secara komprehensif. Guru tidak bisa sekadar mentransfer ‘ilmu sanitasi’ kepada anak didik melalui mata pelajaran dan membiasakan di sekolah, tapi guru pun seharusnya tahu bagaimana kondisi prasarana sanitasi para siswanya di rumah. Ini penting untuk mencari jalan bagaimana ‘menjaga’ pemahaman anak terhadap sanitasi agar tidak berubah manakala mereka menemukan sanitasi yang tidak layak di rumah mereka. Harapannya, merekalah yang mendorong keluarga mereka untuk membangun sanitasi yang layak.
Memang ini bukan pekerjaan kecil. Ini adalah usaha besar dan berkesinambungan. Makanya, program penyadaran sanitasi di sekolah harus dirancang sedemikian rupa sehingga mampu menghasilkan anak didik yang melek sanitasi dan mampu menjadi agen perubahan di masyarakat.
Kalau itu terjadi, 32,3 juta anak Indonesia bisa menjadi agen perubahan perilaku di tempat tinggal mereka, pasti sanitasi di Indonesia akan lebih baik. Dan yang terpenting, kualitas anak-anak pun akan meningkat. Inilah potensi besar yang perlu terus digali, menjadikan siswa sekolah sebagai duta sanitasi yang sebenarnya. MJ
Kamis, Juli 14, 2011
Senin, Juli 11, 2011
COCA COLA JUDULNYA CLTS ISINYA
Untuk menceriterakan kembali, saya mengingat-ingat dimana ya buku catatan harian saya? Untung kurang dari 5 menit, saya sudah menemukan buku catatan harian tersebut, yang sudah berada di gudang buku.
INILAH SALAH SATU CERITERANYA:
1.Kamal Kar dan rombongan pertama kali ingin ketemu Ibu Susanti, seorang Natural Leader yang telah behasil bersama masyarakat mencapai Dusun ODF (Dusun Cipuka, Desa Cisalada). Ibu Susan menggandeng bapak Kamal seorang tukang batu yang ada di Dusun Cipuka. Waktu di rumah ibu Susan ini banyak ceritera yang menarik, tetapi saya mau loncat ke ceritera yang lain.
Rombongan Kamal Kar (KK) berjalan menuju Dusun lain, di tengah jalan KK melihat seorang ibu dari Desa lain [Desa Pasir Jaya] sedang mencuci pakaian dan mandi di Pancuran Tujuh. Bangunan pancuran tersebut milik seorang Jaksa yang sengaja dbangun untuk membantu masyarakat untuk keperluan mandi, cuci dan kakus [MCK]. Bangunan kurang terpelihara dan sudah mulai rusak.
KK bertanya kepada ibu yang sedang mencuci tersebut: ”Dimana biasanya ibu berak? Apakah ibu biasanya juga berak di sini? Dan, ......lain-lain”.
KOMENTAR:
• Melaksanakan pemicuan dengan cara berdiskusi di suatu tempat yang riil adalah suatu cara yang efektih
2. Setelah meninggalkan Pancuaran Tujuh rombongan melewati jalan setapak dibawah suatu lereng yang terjal. Perbedaan ketinggian tanah antara jalan setapak di pinggir suatu sungai kecil dan letak pinggir perkampungan kurang lebih 30 meter. Di pinggir sungai kecil tersebut banyak tumpukan sampah yang dilempar dari pinggiran perkampungan.
KK memanggil ibu Susanti [natural leader], dan bertanya, “Mengapa ada sampah disitu?
Ibu Susanti menjawab, “Yang membuang sampah tersebut orang dari Dusun lain, bukan dari dusun saya”.
Tanpa ingin membuat malu Ibu Susanti yang telah berhasil menggerakkan masyarakat, KK hanya bertanya “Apakah ibu senang dengan adanya sampah ini?”. Lebih lanjut KK bertanya, “Apa yang akan dilakukan dengan sampah ini?”.
Ibu Susanti berjanji akan berusaha agar tidak ada lagi tumpukan sampah.
Tentang sampah ini ternyata sudah terekam dibenak KK dan muncul lagi dalam diskusi yang dilakukan oleh KK bersama masyarakat.
Akan saya ceriterakan di lain waktu.
• Lagi-lagi di tempat yang riil merupakan cara yang efektif untuk melaksanakan pemicuan.
• Ibu Susanti bersama masyarakat telah mencapai Dusun ODF, perlu dimotivasi kembali dengan tantangan pilar yang lain. Sanitasi total juga berarti tidak hanya STOP BABS.
3. Dari tempat onggokan sampah tersebut, kemudian rombongan berjalan lagi melewati jalan setapak (galengan bahasa Jawa) di tengah persawahan. Di tengah jalan ketemu seorang lali-laki.
Tidak di sia-siakan oleh KK dan bertanya “Sudah punya jamban, kapan membangun, apa yang dirasakan setelah mempunyai jamban, dan lain-lain pertanyaan”.
Masih banyak catatan lain yang tersimpan di buku tulis. Lain waktu akan saya tulis kembali dan akan saya sampaikan kepada Ibu dan bapak, semoga ada manfaatnya.
PELAJARAN YANG DAPAT DIPETIK:
1. Alat (tool) PRA yang digunakan adalah Transect Walk, dan tool tersebut dilaksanakan secara fleksibel dan tidak kaku.
2. Dalam melakukan pemicuan selalu tidak melupakan prinsip do dan don’t.
3. Kepada siapa saja selalu menjadi sasaran pemicuan.
4. Cara pemicuan seperti tersebut di atas cocok dilakukan sebagai pemicuan lanjutan setelah dilakukan pemicuan pertama.
Selah saya membaca catatan harian ini, saya teringat iklan coca cola, mengingatkan saya bahwa bapak Kamal Kar juga melalukan pemicuan dimana saja, kapan saja, kepada siapa saja. Tulisan ini berarti Coca Cola Judulnya CLTS Isinya.
Ibu dan bapak pasti juga banyak pengalaman yang menarik, sekecil apapun pengalaman ibu dan bapak bagi orang lain merupakan informasi yang indah dan menarik hati.
(Cerita Bapak FX SUDARDJO)
FX SUDARDJO
MOBILE PHONE: 081 2291 0088
EMAIL: sudardjofx@yahoo.co.id
Minggu, Juni 26, 2011
Mari Peduli sanitasi Sekolah
Fasilitas Sanitasi sekolah yang meliputi Air bersih, Toilet (Kamar mandi, WC dan Urinoir), sarana Pembuangan Air Limbah, Sarana pembuangan Sampah dan Pengendalian Vektor di lingkungan sekolah perlu mendapatkan perhatian . Fasilitas Sanitasi atau kesehatan lingkungan yang tidak memadai merupakan faktor risiko terjadinya berbagai gangguan kesehatan termasuk kecelakaan dan berbagai penyakit berbasis lingkungan seperti diare, DBD, ISPA,dll. Hasil identifikasi faktor risiko kesehatan di 240 SD/MI di 15 Kab/Kota di Jawa Tengah pada 2011, menunjukan 70% fasilitas sanitasi sekolah kurang memadai terutama sekolah dasar di pedesaan. Kondisi KM/WC jauh dari kesan bersih masih banyak ditemukan, Kantin sekolah yang kurang memenuhi syarat demikian juga dengan pengelolaan sampah.
Disamping kondisi yang kurang terawat, proporsi ketersediaan dibanding jumlah siswa sebagian besar tidak memenuhi syarat ( 1 KM/WC = 40 siswi , 1 KM/WC : 25 siswa)
Kondisi sanitasi yang buruk di sekolah, merupakan faktor risiko yang mengancam kesehatan anak didik khususnya dan warga sekolah pada umumnya.
Selain fasilitas sanitasi yang buruk, kondisi bangunan di beberapa sekolah juga sangat memprihatinkan, tidak layak untuk proses belajar mengajar serta rawan terjadi kecelakaan.
Sanitasi merupakan urusan kita bersama. Peran Pemerintah hanyalah sebagai fasilitator. Untuk dapat menumbuhkan budaya peduli sanitasi dan hidup sehat harus digelakkan di berbagai sektor terutama bidang pendidikan, dan ini harus dimulai dari pendidikan yang paling dasar
Kepedulian sanitasi perlu melibatkan kerjasama yang baik antara pemerintah, dunia usaha, media massa dan masyarakat. Masyarakat lebih menyadari pentingnya pembangunan sanitasi yang lebih baik dan pentingnya menerapkan perilaku Hidup Bersih dan sehat.
Untuk itu seyogyanya acara reuni atau temu alumnus, diisi pula dengan aksi peduli sanitasi sekolah, tidak hanya sekedar kangen-kangen dan berbagi cerita kesuksesan para aalumnus
Dewi K
Fungsional Khusus epidemiologi
Selasa, Juni 21, 2011
Lingkungan Bebas Tai, Ngising Sing Panthongan
Desa PAGENTAN terletak di Kecamatan Pagentan, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah, Luas Wilayah : 369,065 Ha, Topografi : 981 m DPL ( Derah Pegunungan ), Jumlah Penduduk : 5.069 (L : 2.569, P : 2.500), Jumlh KK : 1.127. Desa ini mendapat program Pamsimas 2010.
Menurut Kepala desa Pagentan Ahmad Salabi, selama mengikuti pelatihan CLTS merasa tidak tertarik , ragu, pesimis terhadap program Pamsimas. Apa itu CLTS, apakah masyarakat saya bisa berubah prilakunya ? selama pelatihan akhirnya saya merenung, apa artinya keberadaan saya ditempat ini “ katanya. Akhirnya saya mulai tertarik dalam proses pelatihan CLTS yang dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Banjarnegara yang difasilitasi oleh Bapak Imam Subarkah Cs.
Satu hari sebelum pentupan saya tergerak dalam pikiran, kalau saya tidak memulai bagaimana masyarakat desa saya ? apakah masih BAB di sembarang tempat selamanya, saya harus bangkit “ katanya.
Kemudian bersama istri membuat jamban dengan mempersiapkan material. Itulah awal perjuangan kepala desa Pagentan Ahmad Salabi memulai perjuangannya. Hambatan demi hambatan telah dilaluinya seperti : Kesulitan mencari waktu yg tepat untuk mengumpulkan masyarakat, Kondisi cuaca yang kadang tidak mendukung, peserta pemicuan sebagian besar Perempuan, padahal pengambil keputusan dalam rumah tangga adalah laki-laki.Hambatan terberat adalah masyakat desa Pagentan cakupan desa untuk buang air besar di sembarang tempat adalah 0% sedangkan tingkat dusun 3%. Kondisi yang demikian menjadi tantangan bagi Ahmad Salabi beserta istri untul menyadarkan masyarakat desa Pagentan, melalui kerjasama dengan Tim fasilitator, Lembaga Keswadayaan Masyarakat, Sanitarian dan bidan desa secara rutin mengadakan pemicuan perubahan prilaku. Tokoh formal (perangkat, RT, RW, BPD, LP3M), tokoh Informal (ulama dan tokoh masyarakat lainnya) memberi dukungan program : memberi contoh membuat jamban, membongkar jamban kolam miliknya, ulama menyisipkan pesan CLTS pada saat pengajian, khotbah jumat, BPD mengkampanyekan secara intens, Mendorong warga membuat kesepakatan tertulis bahwa penerima air Pamsimas harus membuat jamban.
Hasil kunjungan Bank Dunia beberapa waktu silam ditindaklanjuti dengan menjadikan Desa Pagentan percontohan perubahan perilaku sehingga pada tanggal 16 Juni 2011, Tim Konsultan Pamsimas Pusat dan Kementerian Kesehatan yang didampingi Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten Banjarnegara mengadakan Lesson Learned di Desa Pagentan. Bapak Salabi mempunyai keinginan untuk mendeklarasikan Desa Stop Buang Air Besar Sembarangan dengan dihadiri Kepada Daerah , Kementerian pelaku Pamsimas, Bank Dunia, Para Camat dan Kepala Desa di Banjarnegara. Selamat untuk desa Pagentan semoga perubahan perilaku dalam menuju masyarakat yang sehat dapat terwujud.
LINGKUNGAN BEBAS TAI, NGISING SING PANTHONGAN (Lingkungan bebas dari tinja, Buang air besar yang benar/pada tempatnya)
Wenang Triatmo
*Fungsional Umum Seksi Penyehatan Lingkungan
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah
Jumat, Juni 17, 2011
Rp 50 Juta untuk Desa yang telah Stop BAB Sembarangan
Salah satu syarat untuk dinyatakan bebas dari buang air besar sembarangan adalah partisipasi penuh berupa swadaya masyarakat tanpa subsidi. Hal ini antara lain dibuktikan oleh desa Dowan yang berinisiatif menerbitkan peraturan desa mengenai sanitasi total berbasis masyarakat.
Target utama program bukanlah berupa jamban yang terbangun secara kuantitatif melainkan lebih kepada terjadinya perubahan perilaku hidup masyarakat karena itulah kunci untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Pada acara tersebut dihibur dengan pentas drama yang dilakukan oleh Foum Anak Desa, mengambil tema Goro goro Buang air besar sembarangan.Bagus, luwes dan kocak serta menghibur.
Acara ini merupakan kerjasama Pemerintah Kabupaten Rembang, Plan Rembang dan Pokja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Kabupaten Rembang.
Minggu, Maret 27, 2011
Konsolidasi Program Lingkungan Sehat 2011
Rabu, Maret 23, 2011
FAKTOR RESIKO PENULARAN TUBERKULOSIS
Hari Air Sedunia (World Water Day)
Hari Air Sedunia atau World Water Day dan sering pula disebut sebagai World Day for Water merupakan hari perayaan yang ditujukan untuk menarik perhatian masyarakat sedunia (internasional) akan pentingnya air bagi kehidupan serta untuk melindungi pengelolaan sumber daya air secara berkelanjutan. Peringatan Hari Air Sedunia dilaksanakan setiap tanggal 22 Maret.
Pun pada tahun 2011. Peringatan hari air sedunia atau World Water Day dilaksanakan pada tanggal 22 Maret 2011 di seluruh dunia termasuk di Indonesia.
Sejarah Hari Air Sedunia. Berdasarkan sejarahnya Hari Air Sedunia dicetuskan kali pertama saat digelar United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) atau Konferensi Bumi oleh PBB di Rio de Janeiro pada tahun 1992.
Logo Hari Air Sedunia 2011 dalam bahasa Inggris
Pada Sidang Umum PBB ke-47 yang dilaksanakan pada tanggal 22 Desember 1992, keluarlah Resolusi Nomor 147/1993 yang menetapkan pelaksanaan peringatan Hari Air se-Dunia setiap tanggal 22 Maret dan mulai diperingati pertama kali pada tahun 1993.
Tema dan Logo Hari Air Sedunia. Setiap tahun peringatan Hari Air Sedunia memiliki tema dan logo tersendiri yang ditetapkan PBB. Sebagai contoh pada tahun 2009 silam tema yang diangkat adalah “Shared Waters Shared Opportunities” yang di-Indonesiakan menjadi “Air Bersama, Peluang Bersama”. Sedang pada Hari Air Sedunia tahun 2010 mengambil tema “Clean Water for a Healthy World“.
Tema Hari Air Sedunia 2011
Dan kini pada peringatan Hari Air Sedunia tahun 2011, tema yang diangkat adalah “Water for Cities, Responding to The Urban Challenge“. Tema ini dialihbahasakan dalam tema hari air tingkat nasional menjadi “Air Perkotaan dan Tantangannya”.
Uniknya, logo resmi Hari Air Sedunia Tahun 2011 yang dirilis oleh www.worldwaterday2011.org (situs resmi World Water Day 2011) dibuat dalam 40 bahasa yang berbeda. Dan salah satu logo tersebut ternyata dibuat dalam bahasa Indonesia.
Logo Hari Air Sedunia dalam 40 bahasa yang salah satunya bahasa Indonesia
Hari Air Sedunia – Word Water Day Tahun 2011. Dari tema dan logo ini terlihat bahwa isu khusus yang diangkat PBB dalam Hari Air Sedunia tahun 2011 berkaitan dengan air di daerah perkotaan dan berbagai permasalahannya terutama terkait urbanisasi.
Di Indonesia yang katanya negeri kaya air, ternyata juga tidak terlepas dari persoalan air. Di kota-kota, berbagai permasalahan air telah menghantui setiap orang. Ketersediaan Air bersih yang semakin mahal dan langka serta pencemaran air menjadi masalah nyata terutama di kota-kota besar Indonesia.
Untuk itu, peringatan Hari Air Sedunia 2011 seharusnya menjadi tonggak awal kesadaran kita bahwa kita perlu melakukan tindakan nyata untuk menyelamatkan air kita. Tiga hal paling sederhana namun berdampak besar yang bisa kita lakukan adalah mulai hemat air, mengurangi pencemaran air, dan menanam air hujan.
Referensi dan gambar:
www.worldwaterday2011.org (materi dan gambar)
Jumat, Maret 18, 2011
SATU LAGI DESA STOP BABS DI KABUPATEN KUDUS
Saat ini sudah dibangun sejumlah fasilitas sanitasi seperti jamban keluarga , bak air, sanitasi sekolah dan sejumlah jaringan perpipaan melalui program Pamsimas (Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat),” ujar koordinator Lembaga Keswadayaan Masyarakat (LKM) Tirto Makmur H. Widargo, saat deklarasi desa ODF di Desa Kajar beberapa waktu yang lalu
Pembangunan sejumlah fasilitas itu menggunakan dana dari APBN senilai Rp 192.500.000 dan APBD senilai Rp 27.500.000. Ada pula dana secara mandiri dari masyarakat setempat
Desa Kajar terletak di lereng Gunung Muaria terdiri dari 4 RW dengan jumlah pendududk 3927 jw, Jumlah KK 1135, Jumlah Rumah 1010, Berkenaan dengan kegiatan Pamsimas selama tahun 2010 telah dilakukan beberapa kali kegiatan Pemicuaan lewat CLTS (>5kali) beberapa kali pendampingan dan monitoring terus menerus akhirnya sebagaian masyarakat yang terpicu dengan kesadaran sendiri, mau berubah perilakunya menjadi perilaku yang bersih dan sehat ini dibuktikan dengan telah terbuatnya 5 unit jamban septiktank, 1 unit jamban sederhana dan, menutup jamban jumbleng 91 unit serta masih ada yang menumpang sebanyak 14 KK, secara keseluruhan (improved) di desa Kajar ada 766 unit jamban, tutur Ibu Dining selaku ketua Komite CLTS Desa Kajar
Saat ini semua KK telah terlayani air bersih dari sumber mata air dengan system perpipaan ke sambungan rumah penduduk yang dibangun melalui dana Pamsimas dan swadaya masyarakat murni .Menurut Jamasri selaku Ketua BP SPAM Tlogorejo Desa Kajar saat ini ada 664 KK konsumen atau pelanggan yang memakai fasilitas itu dengan dibebani membayar Rp 3000/KK/bl.dkk kudus
Senin, Maret 14, 2011
KAMPUS BEBAS JENTIK, STRATEGI PENCEGAHAN DEMAM BERDARAH DENGUE
Beberapa kota besar di Indonesia dikenal sebagai kota endemik DBD (Demam Berdarah Dengue), termasuk Medan. Kota lainnya adalah Jakarta, Surabaya, Bandung, Makasar, Lampung, Palembang, dan sebagainya. Semakin padat penduduk suatu kota, maka penularan DBD akan semakin mudah dan semakin cepat.
Berbagai teori pemberantasan dan pencegahan DBD sudah lama diterapkan. Kita kenal Pokja (kelompok kerja) dan Pokjanal (kelompok kerja fungsional) yang dikatakan sangat efektif untuk memberantas sarang nyamuk di kelurahan dan desa. Ada juga istilah pemantau jentik, jumantik (juru pemantau jentik) yang direkrut dari kepala lingkungan dan kader serta istilah patroli kesehatan. Semuanya merupakan upaya untuk mengurangi populasi nyamuk aedes aegypti yang membawa virus dengue penyebab DBD. Kita semua tahu istilah 3M + 1T untuk pemberantasan sarang nyamuk.
Namun fakta yang terlihat sampai saat ini adalah:
1. Masalah DBD belum dapat diatasi secara optimal di seluruh Indonesia.
2. Hampir semua orang tahu slogan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dengan 3M (menguras, menutup dan mengubur) dan 1T (telungkupkan) itu, tapi tidak banyak yang melaksanakannya. Semua hanya tinggal slogan dan tulisan dalam spanduk-spanduk atau leaflet-leaflet penyuluhan.
3. Metode penanggulangan yang selama ini dilaksanakan masih belum efektif karena masih bertumpu pada kondisi hilirnya saja yaitu dengan penyemprotan atau fogging, bukan pada hulunya, yaitu PSN atau lebih tepat pemberantasan jentik nyamuk.
4. Parameter hasil penanggulangan DBD yang dikenal seperti ABJ (Angka Bebas Jentik) ternyata tidak akurat, karena hampir tidak mungkin untuk mendapatkan angka bebas jentik yang benar dan angka ini selalu berubah tergantung kondisi lingkungan sekitarnya dan peran serta masing-masing individu di rumahnya.
5. Kriteria diagnosis DBD yang diadopsi dari WHO, ternyata di lapangan banyak membutuhkan modifikasi baik secara klinis maupun laboratoris. Turunnya jumlah trombosit dapat dilihat paling cepat pada hari ketiga demam, umumnya pada hari kelima.
6. Penanganan kasus DBD di seluruh rumah sakit belum dilakukan secara standar. Ini disebabkan adanya perbedaan pemahaman tentang patofisiologi DBD oleh para dokter serta kriteria diagnosis yang digunakan
Membangun Peran Serta Masyarakat
Dalam Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025 disebutkan bahwa pembangunan sumber daya manusia diarahkan untuk terwujudnya manusia Indonesia yang sehat, cerdas, produktif dan masyarakat yang semakin sejahtera (Bappenas 2005). Melalui Program Indonesia Sehat 2010, gambaran masyarakat Indonesia di masa depan yang ingin dicapai adalah masyarakat yang antara lain hidup dalam lingkungan yang sehat dan mempraktekkan perilaku hidup bersih dan sehat (Depkes 2003). Lingkungan yang sehat termasuk di dalamnya bebas dari wabah penyakit menular.
Penanggulangan wabah demam berdarah seperti halnya wabah pada umumnya, melibatkan peran serta masyarakat namun sifatnya persuasif. Dalam penjelasan Pasal 5 Undang-undang No. 4 Tahun 1984, dikatakan bahwa penyuluhan kepada masyarakat adalah kegiatan komunikasi yang bersifat persuasif edukatif tentang penyakit yang dapat menimbulkan wabah agar masyarakat mengerti sifat-sifat penyakit, sehingga dapat melindungi diri dari penyakit, dan apabila terkena, tidak menular pada orang lain.
Dalam penjelasan Pasal 5 Undang-undang No. 4 Tahun 1984, juga dikatakan bahwa penyuluhan dilakukan agar masyarakat dapat berperan aktif dalam menanggulangi wabah. Selanjutnya dalam Pasal 6 dikatakan bahwa mengikutsertakan masyarakat secara aktif haruslah tidak mengandung paksaan, disertai kesadaran dan semangat gotong royong, dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Dengan demikian, kebijakan pemberantasan penyakit menular memang mendorong keterlibatan masyarakat secara aktif, namun lebih bersifat imbauan.
Kampus Bebas Jentik
Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) sejak tahun 2003 sampai saat ini, kecenderungannya bergeser dari anak ke dewasa. Hal ini merupakan fenomena global yang juga terjadi di sejumlah daerah di Indonesia maupun negara-negara lain di dunia, umumnya di daerah perkotaan. Upaya pencegahan penularan yang telah dilakukan selama ini, disamping fogging fokus, yang lebih penting adalah Pemberantasan Jentik Nyamuk (PJN). Kegiatan ini harus dilakukan di rumah-rumah juga di tempat-tempat lain seperti sekolah, kampus, kantor-kantor, mall, rumah ibadah dan pesantren serta bengkel-bengkel. Pemberantasan sarang jentik merupakan tindakan yang paling penting dalam mengurangi jumlah populasi nyamuk aedes sebagai vektor penular.
Kampus merupakan salah satu tempat perindukan nyamuk aedes untuk daerah perkotaan. Karena kampus mempunyai banyak bak yang berisi air dan belum tentu dilakukan pengurasan secara regular setiap minggu oleh petugas kebersihannya. Jadi, bak air di kamar mandi tersebut merupakan breeding places bagi nyamuk aedes. Belum lagi kontainer-kontainer alamiah seperti pohon dan bunga yang bisa menampung air, dan juga kontainer lain seperti kaleng atau tempurung kelapa. Dispenser dan kulkas juga merupakan tempat perindukan aedes yang lazim di ruangan ataupun rumah-rumah yang selalu luput dari perhatian kita.
Mulai Juni 2008, surat edaran dari Sekda Medan sudah dilayangkan ke seluruh Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta di Medan agar melakukan upaya pemberantasan sarang jentik bersama dengan Dinas Kesehatan dan Puskesmas setempat. Hasil survei selama kegiatan ini, di beberapa kampus memang ditemukan bak air yang berisi jentik, bahkan ada kampus yang 50 persen dari jumlah bak air yang ada berisi jentik aedes.
Kegiatan yang sederhana
Kegiatan ini sederhana dan mudah. Yang diperlukan hanya kemauan serta kerja sama semua pihak yang ada di setiap kampus. Cukup dengan mengosongkan seluruh bak air yang ada di lingkungan kampus dan menyikat dinding bak air tersebut, karena telur nyamuk selalu melekat pada dinding bak air. Kemudian, kepada setiap petugas diberikan bubuk abate untuk ditaburkan pada dinding bak air sebelum diisi kembali.
Petugas dari Dinas Kesehatan Kota Medan dan Puskesmas setempat melakukan penyelidikan epidemiologi di sekitar kampus serta melakukan fogging di lingkungan kampus dan lingkungan sekitar di luar kampus. Tentunya pemerintah setempat turut berpartsiipasi mengerahkan warganya untuk melakukan hal yang sama di lingkungan di luar kampus. Dalam hal ini camat, lurah dan kepala lingkungan turut berperan aktif. Sebelumnya, pihak Dinas Kesehatan Kota Medan memberi penyuluhan untuk para mahasiswa dan karyawan tentang DBD serta cara mencegah penularannya di rumah dan di sekolah-sekolah termasuk di kampus secara singkat dan sederhana.
Dengan program kampus bebas jentik ini, diharapkan timbul suatu kesadaran dan pemahaman pada seluruh personil kampus, terutama para mahasiswa dan karyawannya agar melakukan pengurasan bak-bak yang ada di lingkungan kampus dan mengosongkannnya secara serentak minimal setiap 2 minggu (sebaiknya setiap minggu) dan reguler. Alangkah baiknya bila pihak pemerintahan setempat, camat dan lurah juga ikut menggerakkan warga di seputar kampus ikut pula melaksanakan PJN secara serentak dan reguler pula.
Program ini sederhana, tidak membutuhkan biaya khusus oleh pihak kampus, namun cukup efektif untuk melindungi warga kampus dari penularan DBD. Sasarannya juga adalah kaum intelektual dan calon-calon intelektual, sehingga pesan-pesan kesehatan ini tidak sulit untuk disebarluaskan.
Penulis adalah Kepala Dinas Kesehatan Kota Medan
SATU JENTIK NYAMUK Rp 25 RIBU
VIVAnews - Upaya untuk melakukan pembarantaasan jentik nyamuk aedes aegypti penyebab demam berdarah dengue (DBD) di kawasan RW 4, Kelurahan Kedoya Utara, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, harus menjadi contoh.
Untuk meningkatkan kesadaran, seluruh warga kawasan tersebut sepakat, membayar denda jika rumah mereka kedapatan ada jentik nyamuknya. Satu jentik nyamuk didenda Rp 25 ribu.
Hal ini untuk membangkitkan semangat warga memberantas demam berdarah dengue (DBD) di wilayahnya.
Sofwan Lutfi, Ketua RW 04 Kelurahan Kedoyautara mengatakan, petugas pemantau jentik (Jumantik) akan mengecek ke setiap rumah warga.
"Satu jentik nyamuk yang ditemukan didenda sebesar Rp 25 ribu, kalau empat jentik berarti 100 ribu," ujar Sofwan, seperti dikutip dari situs berita milik Pemerintah DKI Jakarta, Minggu, 8 Februari 2009.
Perjanjian ini telah disepakati seluruh warga. Agar mereka sungguh-sungguh dalam melakukan PSN di lingkungan rumah.
• VIVAnews .eko priliawito.metro
Jumat, Maret 04, 2011
KODE ETIK SANITARIAN
Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 373/Menkes/SK/III/2007 Tanggal : 27 Maret 2007 Tentang Standar Profesi Sanitarian, berikut merupakan Kode Etik Sanitarian/Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia.
A. KEWAJIBAN UMUM
Seorang sanitarian harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan profesi sanitasi dengan sebaik-baiknya.
Seorang sanitarian harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi.
Dalam melakukan pekerjaan atau praktek profesi sanitasi, seorang sanitarian tidak boleh dipengaruhi sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.
Seorang sanitarian harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri sendiri.
Seorang sanitarian senantiasa berhati-hati dalam menerapkan setiap penemuan teknik atau cara baru yang belum teruji kehandalannya dan hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.
Seorang hanya memberi saran atau rekomendasi yang telah melalui suatu proses analisis secara komprehensif.
Seorang sanitarian dalam menjalankan profesinya, harus memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya dengan menjunjung tinggi kesehatan dan keselamatan manusia, serta kelestarian lingkungan.
Seorang sanitarian harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan klien atau masyarakat dan teman seprofesinya, dan berupaya untuk mengingatkan teman seprofesinya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau kebohongan dalam Menangani masalah klien atau masyarakat.
Seorang sanitarian harus menghormati hak-hak klien atau masyarakat, hak-hak teman seprofesi, dan hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan klien atau masyarakat.
Dalam melakukan pekerjaannya seorang sanitarian harus memperhatikan kepentingan masyarakat dan memperhatikan seluruh aspek kesehatan lingkungan secara menyeluruh, baik fisik, biologi maupun sosial, serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.
Seorang sanitarian dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan bidang lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.
B. KEWAJIBAN SANITARIAN TERHADAP KLIEN / MASYARAKAT
Seorang sanitarian wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan keterampilannya untuk kepentingan penyelesaian masalah klien atau masyarakat. Dalam hal ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau penyelesaian masalah, maka ia wajib berkonsultasi, bekerjasama dan atau merujuk pekerjaan tersebut kepada sanitarian lain yang mempunyai keahlian dalam penyelesaian masalah tersebut.
Seorang sanitarian wajib melaksanakan profesinya secara bertanggung jawab.
Seorang sanitarian wajib melakukan penyelesaian masalah sanitasi secara tuntas dan keseluruhan.
Seorang sanitarian wajib memberikan informasi kepada kliennya atas pelayanan yang diberikannya.
Seorang sanitarian wajib mendapatkan perlindungan atas praktek pemberian pelayanan.
C. KEWAJIBAN SANITARIAN TERHADAP TEMAN SEPROFESI
Seorang sanitarian memperlakukan teman seprofesinya sebagai bagian dari penyelesaian masalah.
Seorang sanitarian tidak boleh saling mengambil alih pekerjaan dari teman seprofesi, kecuali dengan persetujuan, atau berdasarkan prosedur yang ada.
D. KEWAJIBAN SANITARIAN TERHADAP DIRI SENDIRI
Seorang sanitarian harus memperhatikan dan mempraktekan hidup bersih dan sehat supaya dapat bekerja dengan baik.
Seorang sanitarian harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan lingkungan, kesehatan dan bidang-bidang lain yang terkait.
inspeksi sanitasi